Harlockwords’s Blog – …Story came Out From My Mind…….

Desember 10, 2008

Petaka Lereng Lawu – Bab XIV

Filed under: Horor,Novel,Petaka Lereng Lawu — harlockwords @ 12:05 pm
Tags: ,

 

 

 

 

Bab XIV

 

 

Lalu mereka mengobrolkan berbagai topik ringan. Dan akhirnya Riham dan Tono berdiri dan berpamitan ke Pakde Darno untuk berangkat menuju makam bude.

 

“ ya sudah pakde, kami berangkat dulu “

yo wes, hati hati Ham, Ton “

“ iya “ jawab mereka berdua hampir bersamaan

 

Lalu mereka berdua berjalan menuju pintu pagar. Riham menutup pintu itu dan menyelotnya. Mereka berdua berjalan menyusuri jalan desa menuju sebelah utara desa melewati jalan jalan yang tak seberapa lebar dan berkerikil. Sesekali mereka melewati halaman rumah penduduk yang lebar dan ditanami berbagai macam tanaman. Walaupun saat itu sudah pukul sepuluh, namun hawa sejuk tetap terasa di Desa Njamus. Maklum, desa ini terletak di lereng Gunung Lawu yang lumayan tinggi dari permukaan air laut disamping suasana desa ini masih terlihat hijau penuh dengan tumbuhan.

 

Jalan desa yang belum diaspal itu bercabang di sebuah tikungan kecil yang berbelok ke kanan melewati gerumbul semak semak tinggi. Mereka merdua masuk ke tikungan sempit itu. Jalan kecil itu hanya berkontur tanah padat dan berbatu kerikil sedikit besar. Rumah pendudukpun sudah mulai jarang, hanya ladang ladang penduduk dengan rumah rumahan kecil yang terletak diujung dalam pekarangan. Mereka berjalan dengan langkah yang tidak terlalu cepat sambil berbicara satu sama lain. Terkadang ada gurauan Riham yang membuat Tono tertawa kecil.

 

Sesaat kemudian perjalanan mereka sampai pada akhir jalan kecil yang memanjang berkelok kelok itu. Sebuah percabangan lagi tepat di hadapan mereka. Diujung percabangan itu nampak sebuah rumah yang sangat kontras dengan suasana desa yang penuh dengan kesederhanaan. Bangunan rumah utamanya saja sudah sangat besar, apalagi ditambah halamannya yang lebih luas dari keseluruhan area rumah itu. Tembok pagarnya tinggi dan berpintu pagar besi berukiran indah. Riham melongo melihat pemandangan luar biasa itu.

 

“ he, Mas Ton. Omahe sopo iku giede banget? (rumahnya siapa kok besar banget) “ tanya Riham

“ oo. Itu Rumah Pak Djojobrot, pemilik perkebunan teh disana itu “ Tono menunjuk ke arah percabangan jalan yang tidak dilewati mereka.

sik, sik (sebentar). Bukannya punya Haji Durrahman? “

“ waah…itu dulu dik. Haji Durrahman sudah lama meninggal. Sekarang diwariskan ke menantu satu satunya, ya Pak DJojobroto itu “ jawab Tono

“ oooo…begitu ya. Kok ke menantunya? Setahuku Haji Durrahman punya anak perempuan satu, lupa aku namanya. Kemana dia? “ Riham bertanya lagi

“ sudah meninggal “ Tono hanya menjawab singkat

“ gede ya rumahnya. Maklum, pemilik perkebunan teh. Kaya “

“ belum lihat dalamnya dik. Seperti villa “ timpal Tono

“ hmm…layak lah. Orang kaya “

 

Lalu mereka meninggalkan pemandangan kontras itu menuju jalan kecil disamping bangunan megah. Tak berapa lama kemudian nampak sebuah tulisan yang di cat di sepotong papan yang sedikit lapuk yang menempel di dua buah tonggak setinggi sekitar dua meter dengan bacaan “MAKAM UMUM DESA NJAMUS”. Mereka berdua berjalan dibawah papan itu menuju sekumpulan nisan nisan yang tersebar tak rapi di area pemakaman umum.

 

“ yang mana makam bude mas? “ tanya Riham

 

Bukan tak beralasan Riham menanyakan hal itu kepada Tono. Kepalanya melongok kesana kemari mencari mana gundukan yang terihat masih baru. Disamping makam desa itu sangat luas, Riham melihat minimal ada tiga makam yang masih terlihat basah gundukan tanahnya.

 

“ itu dik. Yang dibawah pohon kenanga itu, yang masih banyak bunganya “ kepala Tono menenggadah menunjukkan posisi makam dengan janggutnya.

“ oo..yang itu ya? “ timpal Riham sambil melangkahkan kakinya melewati beberapa nisan

 

Riham mendekat ke arah pohon kenanga yang di tunjuk oleh Tono. Dibawah persis pohon itu terlihat sebuah makam dengan nisan kayu bertuliskan “ Soedjarwati” dengan cat hitam. Tanahnya masih gembur dan basah tanda baru beberapa jam diurukkan kembali. Bunga bunga yang bertaburan itu pun masih terlihat segar walaupun sudah tak berbau wangi lagi.

 

Riham berjongkok dengan berpegangan pada nisan kayu. Lalu kedua tangannya ditengadahkan didepan dadaya. Kepala Riham menunduk. Kelihatan mulutnya berkomat kamit mengucapkan sesuatu.

Tono yang melihat Riham berdoa disisi makam budenya, terseret ke dalam suasana yang khidmat. Sehingga tanpa dia sadari, Tono pun menundukkan kepala dan berdoa juga untuk Bude Darno. Tak terasa beberapa tetes air mata mengalir di pipi Riham. Dengan khusu’ ia mendoakan keselamatan bude di perjalanan menghadap Sang Khalik.

 

Setelah selesai ia berdoa, Riham mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya sekaligus memberihkan air mata yang menggenag di pelupuk matanya. Saat ia membuka mata dan menoleh ke sisi kiri, di tengah pepohonan pinus yang tumbuh subur didaerah itu, Riham melihat dua sosok manusia yang tampak memperhatikan mereka berdoa. Dua orang itu berada beberapa puluh meter dari makam bude. Riham sejenak terpana menatap dua sosok yang nampak tak bergerak itu. Lalu ia menepuk kaki Tono yang berdiri di sebelah dan masih tertunduk berdoa.

 

“ Ada apa dik? “ Tono yang telah selesai membasuh mukanya bertanya pada Riham.

“ Mm..Mas Ton, lihat disana. Siapa mereka? “ Riham bertanya kepada Tono sambil menoleh menghadap Tono.

“ Dimana? “

“ Itu disana…” Riham kembali menghadap arah dimana ia melihat dua sosok manusia tadi sambil mengacungkan tangannya ke arah yang dituju. Tapi dia tidak melihat siapapun disana. Hanya kumpulan pohon pinus yang tampak bergerak gerak ditiup angin.

“ Dimana dik? Aku ndak lihat apa apa “ tandas Tono

“ Dimana mereka tadi? “ Riham bangkit berdiri dari jongkoknya. Kepalanya melongok melihat kejauhan mencari cari sosok yang dilihatnya tadi. Namun dia tak menemukan siapa siapa.

“ Sungguh mas aku melihat dua orang yang menatap kita disini. Sungguh sangat mencurigakan sikap mereka tadi “ kata Riham meyakinkan Tono

“ Mungkin orang yang mencari kayu dik “

“ ndak mungkin mereka orang cari kayu. Untuk apa berlama lama menatap kita. Kalaupun iya, pasti mereka berencana melakukan sesuatu yang tidak wajar terhadap kita “

“ kita biarkan saja dik. Kalau mereka mau macam macam, tentu mereka akan mencegat kita diperjalanan pulang nanti “ saran Tono kepada Riham. Mereka berdua beranjak untuk pulang sembari membahas apa yang di lihat Riham tadi.

“ Memangnya saat ini banyak kasus tindakan kejahatan di desa ini ya mas? “ tanya Riham

Tono diam sejenak dengan pertanyaan Riham. Lalu ia menjawab “ Hampir tidak pernah dik. Paling paling maling ayam. Kalau kejahatan berat, hampir tidak pernah “

“ Lalu, siapa mereka tadi? Apa yang mereka ingin lakukan? “ tanya Riham hampir seperti bertanya pada dirinya sendiri

“ Apa ndak mungkin, kalau Dik Riham salah lihat tadi “ tanya Tono kembali

“ Ndak mungkin mas. Aku yakin sekali dengan yang aku lihat tadi. Mereka berdiri di sebelah situ dan menatap tajam pada kita berdua “

“ Kalau begitu, kita lihat saja. Apa mereka berani macam macam nanti “

“ Baik mas “ jawab Riham.

 

Mereka berjalan keluar area pemakaman dengan penuh waspada. Terlihat raut wajah mereka yang sedikit tegang menanti kemungkinan yang akan terjadi. Terkadang mereka sedikit bercakap cakap, namun mereka lebih banyak diam. Perjalanan mereka tidak secepat waktu berangkat tadi. Perlahan lahan mereka berdua menyusuri jalan kecil yang mengarah ke jalan utama Desa Njamus.

 

Namun hingga pecabangan jalan utama desa, mereka tidak mengalami satu apapun. Sehingga kini mereka dapat melonggarkan urat saraf yang sedikit menegang sejak dari area pemakaman tadi.

 

“ Ndak ada apa apa dik “ kata Tono membuka pembicaraan

“ Iya mas. Mungkin aku yang salah lihat tadi “ timpal Riham

“ yah…bisa jadi. Mungkin Dik Riham masih kecapaian. Sejak datang kemarin sudah sibuk mengurusi persiapan tahlilan kemaren malam “

“ mungkin mas…” Riham menjawab. Ingin juga rasanya ia menceritakan mimpi mimpinya kepada Tono. Namun ia urungkan niatnya. Belum tentu Tono mengerti arti dari mimpi buruk yang dialami Riham.

“ kalau begitu, kita berpisah disini ya dik “ ujar Tono

“ Mas Tono tidak ikut dulu kerumah? “

“ Aku masih mau mengurus sesuatu di kelurahan dik. Dari sini lebih dekat menuju kantor kelurahan “

“ oo..begitu ya mas. Kalau begitu  aku sampaikan terima kasih banyak sudah mengantar ke pemakaman”

“ sama sama dik. Ndak usah sungkan sama aku. Kalau ada apa apa telepon saja aku. Pasti aku bantu. Masih lama kan di sini? “

“ Paling sampai tujuh harinya bude,mas. Kasihan pakde sendiri, paling nggak aku bisa bantu bantu menyiapkan kebutuhan untuk tahlil hingga tujuh harinya bude nanti “

“ Bagus lah kalau begitu. Aku mau langsung ke kelurahan ya dik. Salam buat Lik Darno. Oh ya, masih inget kan jalan pulang? Hehehe…” canda Tono

“ Kalau dari sini saja masih ingat mas…ya sudah mas, aku pamit dulu “

“ Hati hati dik “

 

Lalu mereka berpisah. Riham meneruskan pulang ke rumah pakdenya, sedangkan Tono ke arah yang berlawanan untuk menuju kantor kelurahan.

 

 

 

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.