Harlockwords’s Blog – …Story came Out From My Mind…….

Desember 19, 2008

Jalan Setapak LALI JIWO – Bag 3

Filed under: Horor,Novelette — harlockwords @ 11:56 am
Tags: , ,

.

 

JALAN SETAPAK LALIJIWO

Surabaya, 15 Desember 2008 – Harlock

 “…tak akan kubiarkan pergi, bahkan sedikit lelap. Semua ada digenggamanku…”

 

Bagian 3

 

 

Baru saja ia akan terlelap, Arthur merasa ada sesuatu yang menyenggol lengan kanannya disertai suara gemerisik daun perdu yang berada disekelilingnya. Sontak ia terjaga kembali. Cepat-cepat ia bangkit dan memeriksa semak-semak di sekitarnya. Suara gemrisik dedaunan itu telah berpindah beberapa meter di sebelah kiri dari yang pertama. Pandangan Arthur cepat berpindah menuju asal suara itu. Arthur merunduk mengambil lampu ting yang lalu diangkatnya kedepan tinggi-tinggi. Ia melihat dedaunan perdu yang rendah bergerak-gerak lalu diam.

 

“ Hoei….siapa disitu! “ Arthur berteriak.

 

Tidak ada jawaban sama sekali. Arthur ingin kembali berteriak, namun tiba-tiba ia melihat sesuatu bayangan berkelebat diantara dahan pepohonan. Bayangan itu melesat menyeberangi jalan setapak dan hinggap di dahan pohon yang tinggi dibelakang Arthur. Arthur menolehkan seluruh badannya mengikuti arah kemana bayangan itu pergi. Ia acungkan lampu tingnya kearah itu. Ia tak melihat apapun disana. Daun-daun di dahan yang habis dihinggapi sesuatu tadi masih bergerak-gerak.

 

“ Ya Tuhan…apa itu tadi…mungkinkah monyet hutan? “

 

Lama sekali Arthur berdiri menyiagakan dirinya. Namun tak ada sesuatu apapun yang bergerak lagi dalam jarak pandangnya. Kembali suasana menjadi sepi. Setelah yakin tidak ada apapun lagi, kembali Arthur merebahkan badannya di tempat semula. Lampu ting ia taruh di sebelah tak jauh dari ia duduk. Ketegangan demi ketegangan yang dialami membuat Arthur semakin susah untuk beristirahat. Matanya tetap membelalak meskipun fisiknya sudah tak mampu lagi untuk bertahan. Ia hanya duduk bersandarkan batang pohon sembari merenungkan apa yang telah terjadi.

 

Ia melihat kembali ke arlojinya. Pukul 22.06. Ia berdecak. Lama sekali waktu ini berjalan. Ingin sekali ia tidur terlelap bagai seonggok kayu dan nanti dibangunkan oleh mentari pagi yang segar. Tapi hingga saat ini, ia tak juga bisa meletakkan kelopak matanya. Dan waktu yang berjalan baru sekitar lima belas menit saja. Walaupun begitu ia tetap berusaha untuk memejamkan matanya.

 

Beberapa menit ia tergeletak pasrah dibawah pohon, tiba-tiba dari gerumbulan perdu di seberang jalan setapak meloncat sebuah batu krikil yang tak terlalu besar dan jatuh di antara kedua paha Arthur. Arthur yang sudah kecapaian dalam ketegangan beruntun hanya melongo dengan mulut terbuka melihat kejadian itu. Ia hanya duduk terdiam ditempatnya sambil memperhatikan kerikil-kerikil yang dilemparkan padanya berkali-kali.

 

“ Tuhanku…apa lagi ini “

“ Hoi. Siapa kamu? Keluar! “ Arthur membentak kepada gerumbulan semak yang masih bergerak gerak halus. Beberapa kerikil masih berloncatan keluar menujunya. Tidak terdengar jawaban sama sekali.

 

Arthur mengambil salah satu batu yang dilempar kepadanya untuk membalas melempar ke balik gerumbul semak. ‘GILA!’ Arthur melemparkan kembali batu itu ke tanah. Batu-batu itu ternyata panas sekali. Nampak jari tangan Arthur melepuh dan berasap. Arthur terlonjak. Rasa kantuk yang menderanya sedari tadi  tiba-tiba hilang entah kemana. Ia berjongkok memegang telapak tangannya yang melepuh.

 

“ Tuhan!! Aduh…panas! “

 

Wajah Arthur mengernyit dalam. Mulutnya meringis menahan rasa sakit di telapak tangan kanan. Dengan masih mengaduh dan memegang erat pergelangan tangan kanannya, ia berdiri dan mendekat kearah semak-semak darimana batu-batu itu berasal. Dengan geram Arthur menyibak gerumbulan dan memeriksa sekelilingnya. Pikirannya sudah tidak fokus lagi. Ia hanya ingin menghentikan gangguan-gangguan yang menimpa dirinya, walau mati taruhannya.

 

Namun, ia tak menemukan apa-apa disana. Arthur melongok ke arah yang lebih jauh. Namun sama saja. Tidak ada apa-apa walau hanya hewan kecil pun. Tiba-tiba Arthur dikagetkan dengan suara tonggeret yang memulai lagi pesta pora setelah ada sesuatu kuasa yang menghentikan mereka beberapa jam yang lalu. Arthur seperti tersadar dari mimpi. Kemudian ia memutuskan untuk kembali ke tempat ia duduk. Semilir angin yang telah kembali menghembus menggesek dedaunan hutan menimbulkan alunan simfoni bersama-sama dengan serangga malam. Kepak sayap kelelawar seakan ikut memperindah alunan musik yang memenuhi hutan malam itu.

 

Arthur kembali merebahkan pantatnya di lantai hutan. Sejenak ia ingin melihat tangan kanannya yang melepuh kepanasan. Mata Arthur membelalak lebar. Ia seperti tak percaya bahwa ia melihat tangannya tak ada bekas terbakar seperti yang ia lihat sebelumnya. Seperti tak pernah mengalami apapun. Arthur menggelengkan kepalanya. Kini ia sangsi akan kewarasan otaknya. Ia mencoba menelaah satu persatu yang terjadi. Apakah semua itu nyata adanya? Apakah ia sudah tak waras karena dipengaruhi oleh rasa penat dan takutnya? Semua menjadi suatu pertanyaan besar dalam benaknya.

 

Angin yang berhembus pelan membawa hawa dingin hingga menusuk tulang Arthur. Arthur yang berperawakan tinggi dengan badan yang sedikit berotot itu tak kuat juga melawan hawa dingin pinggiran Gunung Arjuno. Ia merapatkan jaket parasutnya yang sudah cukup tebal. Tak urung jaket itu belum bisa menghangatkan badan Arthur yang kedinginan. Angin itu membuat mata Arthur menjadi berat. Kelopaknya mulai menutup perlahan. Ia pun sedikit bersukur dalam hati. Sebentar lagi ia akan terlelap.

 

Baru saja ia menempuh perjalanan menuju alam bawah sadar, ia kembali terjaga oleh kerjapan sinar menembus kelopak mata dan suara keras yang memekakkan terlinga. Sedikit Arthur mengangkat kepalanya, lalu diletakkan kembali. Sinar yang sejenak menyinari seluruh hutan datang lagi diikuti gemuruh suara yang sahut menyaut di langit. Arthur menengadahkan kepalanya.

 

“ Oh..Gusti, masih belum cukup kah yang aku alami? “

“ Semoga tidak sekarang turunnya…..”

 

Ia hanya ingin tidur kembali. Direbahkannya kepala dan punggungnya di batang pohon dan mencoba lagi untuk memejam. Kilat dan guntur tetap saja hadir sahut menyahut di atas kepala Arthur. Ia tak peduli sama sekali. Tetap saja ia berkeinginan untuk tidur sejenak sebelum hujan benar benar mengguyur lereng Gunung Arjuno. Nasib baik memang tak memihak Arthur hari ini. Hanya selang beberapa menit sejak Arthur mendengar suara guntur yang pertama, tetesan air telah tumpah membasahi seluruh permukaan lereng gunung. Arthur mendesahkan nafas berat. Dengan enggan ia berdiri untuk memakai jas hujan hijau lumut yang di pack dalam tas ransel besarnya.

 

“ Hujan benar-benar turun sekarang. Apa yang harus kulakukan? “

“ Sebaiknya aku jalan lagi saja…toh aku sudah meregangkan kaki ku, dan aku pun tak bisa tidur lagi..”

 

Semakin lama hujan tidak semakin reda, malah cenderung semakin menjadi. Guntur dan kilat datang sambung menyambung. Cuaca menjadi amat mengerikan. Arthur terus berjalan dengan berpatokan pada jalan setapak yang membujur jelas di tanah basah. Ia kini tak memaksakan diri untuk segera sampai pada tujuannya. Jalan Arthur sedikit lambat. Bahkan terlihat hanya berjalan selangkah demi selangkah. Entah karena ia sengaja memperlambat jalannya atau karena kakinya memang sudah tak kuat lagi untuk berjalan cepat.

 

Hujan lebat dan kilat kini memanggil saudaranya untuk bergabung dalam pesta malam itu. Angin dengan kecepatan tinggi datang menerpa wajah Arthur dari arah depan. Kerudung jas hujan yang ia pakai beberapa kali terbuka dengan sendirinya tertiup angin maha dahsyat itu. Jas hujan yang ia pakai seakan percuma saja. Jaket parasut di balik jas hujan itu tetap saja basah kuyup dan menembus hingga kaos didalamnya. Ranting-ranting patah berguguran dan terbang mengikuti arah angin. Sesekali ranting yang berdaun menerpa wajah Arthur hingga sedikit menimbulkan rasa perih di wajahnya. Lampu ting yang dirancang khusus menghadang tiupan angin, apinya nampak bergerak gerak hebat. Semakin sempit juga jarak pandang Arthur karena sinar api sudah tidak fokus lagi.

 

Dengan lampu ting di tangan kanan, ia melihat arloji yang ia sematkan ditangan kiri. Jam baru menunjukkan pukul 22.57 menit. Belum ada satu jam ia beristirahat, namun kini ia dipaksa untuk berjalan kembali. Niatnya untuk keluar dari cobaan ini begitu besar. Ia tak mau menyerah sama sekali. Bagaimanapun kerasnya hati Arthur, tak urung benaknya juga sedikit menyesali semua kejadian ini. Dengan menghadapi badai dahsyat sendirian didalam hutan lebat seperti ini, manusia mana yang tidak kecut hatinya. Walau mempunyai fisik sekuat Arthur pun pasti akan merasakan siksaan hebat baik badan maupun mentalnya.

 

Beberapa ratus meter setelah ia mulai lagi melangkahkan kaki dalam hujan badai ini, disisi kiri jalan setapak sama-samar ia melihat sosok manusia di balik rerimbunan pohon. Sosok itu seperti mengawasinya dari tempatnya berdiri. Dengan tetap berjalan di jalurnya, Arthur menajamkan mata di sela pedihnya air hujan yang menghujam untuk memastikan apa yang ia lihat. Sosok itu berdiri beberapa meter jaraknya dari tepi jalan setapak. Arthur tidak seberapa jelas akan bentuk mahluk itu. Dilihat dari perawakan tubuh mahluk itu di balik siluet, Arthur mengira-ngira bahwa mahluk itu tingginya sedikit melebihi tinggi ukuran normal lelaki dewasa. Dengan postur tubuh yang bungkuk, mahluk itu sudah setinggi separuh batang pohon. Apalagi kalau ia berdiri tegak. Dan yang pasti, Arthur yakin bahwa mahluk itu bukan manusia. Mahluk itu bergerak membungkuk-bungkuk perlahan dari pokok pohon ke pokok pohon lainnya mengikuti kemana arah kaki Arthur.

 

Seluruh bulu di badan Arthur meremang. Ia bertanya-tanya, apa atau siapa itu disana. Tapi Arthur tak mempunyai keberanian untuk berteriak sama sekali. Ia hanya melirik saja ke arah siluet itu tanpa berani menengokkan wajah kearahnya. Seperti anjing piaraan, mahluk itu tetap mengiringi perjalanan Arthur hingga beberapa ratus meter tanpa berusaha mendekati Arthur. Hingga saat Arthur kembali melirik ke arah siluet, ia tidak menemukannya lagi. Dengan segala macam pertanyaan Arthur tetap pada langkahnya menyusuri jalan setapak yang seperti tak berujung.

 

 

.

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.