`
JALAN SETAPAK LALIJIWO
Surabaya, 15 Desember 2008 – Harlock
“…tak akan kubiarkan pergi, bahkan sedikit lelap. Semua ada digenggamanku…”
Bagian 4
Sore itu matahari masih memancarkan sinarnya walau separuh badannya telah ditelan cakrawala. Perlahan tapi pasti sang mentari mulai menata peraduannya untuk tidurnya malam nanti. Semburat cahaya jingga menyorot dari arah barat menembus lebatnya dedaunan Alas Lalijiwo. Sekelompok orang nampak berjalan menyebar di sekitar hutan. Beberapa terlihat menggendong tas ransel yang terlihat penuh menggembung. Ditangan mereka tergenggam galah untuk menyibak sesemakan yang lumayan rimbun. Terdengar teriakan-teriakan mereka memanggil nama seseorang.
“ Bagaimana? Hari sudah hampir malam. Kalau kita teruskan mencari juga tak akan membuahkan hasil. Bisa-bisa besok kita nggak punya tenaga untuk melanjukan pencarian “ ujar salah satu dari mereka.
“ OK. Kita hentikan pencarian sekarang. Kita balik ke pos Plawangan untuk koordinasi ulang. Man, kabari kelompok Buaya Satu dan Buaya Dua, secepatnya kembali ke pos komando “
Seseorang yang dipanggil segera meraih handy-talkie yang disangkutkan di tali pundak kemeja dan menghubungi rekan-rekan mereka. Terdengar obrolan khas Tim Penyelamatan. Tim utama segera mengumpulkan anggota mereka dan segera berkumpul di mulut hutan. Di antara mereka nampak empat orang anak muda yang menampakkan wajah khawatir. Mereka adalah Stelly, Bam, Sazha dan Dhani.
“ Bagaimana mas? Kok sudah mau balik? “ tanya Sazha pada pimpinan regu SAR di depannya.
“ Matahari sudah tenggelam, dik. Sebaiknya kita lanjutkan besok subuh, “
“ Mengapa nggak diteruskan sampai nanti malam, mas? “ ganti Bam yang bertanya.
“ Nggak efektif dik. Kita nggak bisa menjangkau daerah yang tersembunyi bila kita melakukan pencarian malam. Akhirnya kita harus kembali kemari besoknya dengan stamina yang terkuras habis, “
Mereka merasa penjelasan ketua regu itu sangat logis. Akhirnya mereka menyetujui rencana ketua regu dan segera kembali ke pos di Plandaan. Matahari telah tiba di di dipan tempatnya tidur. Sinar jingga telah hilang tergantikan dengan kegelapan yang perlahan melahap seluruh permukaan Gunung Arjuno, begitu pula kekelaman telah merengut hati Dhani yang berjalan lesu mengikuti Tim SAR kembali ke Pos Komando di Plandaan. Hatinya benar–benar tidak bisa tenang menghadapi kenyataan ini. Ia menghembuskan nafas berat.
“ Semoga Tuhan melindungimu malam ini Thur. Semoga………….”
~oO0Oo~
Hujan lebat yang menyiksa Arthur akhirnya semakin berkurang. Tinggal tetes-tetes kecil yang jatuh menimpa tudung jas hujan Arthur. Angin kencang yang datang secara tiba-tiba pun hilang seperti ketika datang. Tak nampak lagi daun-daun berguguran mengganggu perjalanan Arthur. Tinggal tanah becek yang sedikit menghambat jalannya. Sesekali Arthur seperti kehilangan keseimbangan karena licinnya jalan berlumpur.
Beberapa langkah kemudian, Arthur dihadapkan dengan kenyataan yang membuat ia tak habis pikir. Kini ia melangkah di tanah yang kering. Tak nampak sedikitpun hujan pernah mengguyur tempat itu. Daun-daun perdu di samping jalan setapak juga tak meninggalkan tetesan air. Arthur menengadahkan kepalanya. Ia melihat taburan bintang yang beratus ratus jumlahnya di langit gunung ini. Ia terbengong melihatnya. Ia kemudian menegokkan kepalanya kebelakang. Nampak tanah basah masih menggenang di lantai huta. Ia mendekat ke arah tanah basah itu dan berjongkok. Ia pegang tanah itu dengan ujung telunjuknya. Ia melihat ke sesemakan. Air hujan yang masih menempel di dedaunan perlahan menghilang tanpa bekas. Tanah yang lembek mengandung air juga perlahan mengering. Bekas jejak langkah yang terukir di tanah basah itu juga perlahan menghilang.
Arthur melongo melihat kenyataan itu. Jaket parasutnya masih saja basah kuyup. Bahkan sepatu hikingnya juga masih bersuara kecepok bila dipakai berjalan. Kemana perginya air-air itu. Apakah ini semua hanya halusinasi? Apa bila iya, akankah baju yang dipakainya basah seperti ini? Bahkan rasa pedih di muka akibat hujaman hujan angin yang ia lawan barusan masih belum hilang rasanya. Perjalanan ini dirasa sangat tidak masuk diakal baginya. Tapi apa daya? Ia harus menyelesaikan apa yang ia telah mulai. Ia harus lekas keluar dari tempat terkutuk ini. Tempat yang menguras seluruh tenaga dan jiwanya. Ia harus kuat. Kuat sampai ia tak sanggup lagi mempertahankan nyawanya.
‘PERSETAN!’ runtuknya. Ia lalu berdiri dan memulai lagi perjalanannya. Ia masih belum mau melepas jas hujannya. Hanya kerudungnya saja yang ia buka kebelakang. Kini perjalanannya jauh lebih mudah dari beberapa menit yang lalu. Jalan setapak sudah tidak berlumpur lagi. Lampu ting pun apinya tidak bergerak-gerak, sehingga jalan menjadi lebih terang. Apalagi bintang-bintang sejuta itu pun ikut memberikan sumbangan penerangan bagi Arthur. Hewan-hewan malam kembali berpesta pora. Suaranya menjadi hiburan tersendiri bagi perjalanan Arthur. Sesekali kepak sayap kelelawar terdengar melintasi langit diatas Arthur. Dari arah belakang menuju kedepan, dari arah kiri ke kanan, kemblai lagi dan seterusnya.
Arthur yang berjalan menyeret itu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah kepakan sayap yang bersuara tidak seperti kepak sayap kelelawar dari arah belakang. Kepakannya sangat berat, menggambarkan lebar sayap yang luar biasa. Sontak Arthur merunduk cepat. Ia menengadahkan kepala mencari asal suara. Ia tak melihat apapun disana. Hanya daun-daun di pucuk yang tinggi bergerak hebat. Sebagian daun rontok dan rantingnya menimpa kepala Arthur. Kepakan sayap itu masih terdengar menuju arah depan dan menghilang. Arthur benar-benar mengalami teror yang luar biasa pada psikisnya. Badannya bergetar, keringat dingin kembali memenuhi wajah dan badannya yang telah sedikit kering. Ia membayangkan bahwa mahluk yang tak terlihat itu akan menghadang dirinya didepan. Ia tak hendak berdiri dari jongkoknya. Kakinya gemetar karena takut dan shok.
Lama ia berdiam diri hingga ia memutuskan untuk berjalan kembali. Arthur berjalam mengendap-endap waspada. Ia mempersiapkan diri kalau mahluk yang dalam bayangannya sangat mengerikan dan bisa terbang itu akan menyergapnya entah dari mana. Tiba-tiba, sesuatu telah menyenggol pundak Arthur. Arthur menghentikan jalannya. Dengan perlahan ia menoleh kebelakang. Namun sekali lagi, ia tak melihat apa-apa disana. Tapi, sebuah suara wanita yang lembut berbisik ditelinga Arthur. Pundak kirinya nya terasa dipegang seseorang sehingga badannya sedikit miring ke kiri. Kepala Arthur menjadi kaku sekali. Ia tak bisa menoleh ke arah yang ia inginkan. Suara itu tetap berbisik-bisik ditelinganya. Tak jelas juga apa yang dikatakan sosok wanita tak kasat mata itu. yang pasti, badan Arthur terlihat menggigil hebat. Akhirnya ia jatuh terduduk pada lututnya. Otot-ototnya terasa lemas tak bertenaga. Ingin rasanya ia pingsan disitu, tetapi kuasa lain tak mengijinkannya utuk terlelap. Mata dan kesadarannya dipaksa untuk menikmati teror yang mengerikan itu.
Arthur yang baru pertama kali merasakan teror oleh mahluk halus terpaksa mengakui bahwa ia tak mampu untuk melawan rasa takut yang hebat yang kini melanda dirinya. Namun ia tak ingin selamanya dikuasai oleh mahluk wanita itu. ia paksa matanya untuk memejam. Lalu ia sedikit bermeditasi sambil membaca apa yang ia bisa baca. Lengan kanan Arthur terangkat perlahan. Telapak tangan kanannya membuka dan diarahkan ke pundak kirinya. Dengan satu hentakan yang pasti, Arthur menepuk pundak kiri yang ia rasa sedang dipegang oleh sesuatu. Entah karena kekuatan apa, pundak itu telah bisa digerakkan lagi. Arthur mendengar suara bisikan itu berganti menjadi suara jeritan yang seperti melayang di ruang kosong. Jeritan itu terdengar menjauh perlahan dan kemudian hilang.
Nafas Arthur terengah-engah setelah terbebas dari himpitan mental yang sedemikian kuat. Kedua telapak tangannya melekat di tanah dan lengannya menumpu seluruh badannya. Nampak tetesan keringat sebesar biji jagung menetes melewati dahi, hidung dan kemudian jatuh ke tanah. Lama ia terdiam di atas tanah. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara teriakan-teriakan yang menyayat hati siapapun. Arthur menoleh kebelakang dan ia melihat pohon-pohon bertumbangan. Daun-daun perdu berterbangan. Gemuruh angin yang membawa debu hutan bergulung-gulung menuju ke arahnya. Tapi ia tak melihat sesuatu yang membuat semua berantakan. Ia tak sanggup lagi mengahdapi semua itu. Dengan segera ia memaksakan diri untuk bangkit dan segera berlari menghindari kekuatan yang tak kasat mata itu.
Kini Arthur berlari seperti kesetanan. Tak ingin sedikitpun ia menoleh kebelakang atau melambatkan larinya. Suara teriakan melengking yang bersahut-sahutan itu bahkan tidak bertambah jauh sediktipun, bahkan Arthur merasa suara-suara teriakan itu semakin betambah dekat ke arah dirinya. Jantung Arthur berdegub kencang. Dadanya semakin sakit terdesak oleh degub jantung dan perasaan takut yang menggelora. Ia sudah tak tahu arah sama sekali. Bahkan ia juga tidak tahu apakah ia tetap di jalur jalan setapak atau ia sudah masuk kedalam hutan yang lebat itu. Berkali-kali ia tersandung oleh akar-akar pohon yang menjalar tak teratur, namun dengan kekuatan fisiknya ia berusaha menyeimbangkan diri dan tetap berlari sekuat tenaganya.
Hingga beberapa menit kemudian, Arthur tersandung sebatang akar pohon yang sedikit menyembul keatas dan membentuk lobang diantara batang akar dan lantai hutan. Telapak kaki Arthur tersangkut lobang itu dan ia kehilangan keseimbangan sehingga ia jatuh tertelungkup kedepan. Secepatnya ia membalikkan badan menghadap sesatu yang mengancam jiwanya itu. Arthur mendengar suara teriakan yang menyakitkan gendang telinga dan mengiris hati menjadi semakin dekat dengan dirinya. Gulungan angin yang membawa debu hutan terlihat telah sampai beberapa meter di depannya. Walau Arthur telah mempersiapkan diri menghadapi segalanya, tak urung ia memejamkan mata menunggu apapun yang akan terjadi menimpa dirinya. Ia sudah pasrah.
Gulungan debu menerpa wajah Arthur dan membuat Arthur sediit menoleh ke samping. Wajahnya mengernyit, lengannya diangkat untuk melindungi wajah dari terpaan debu-debu yang sedikit menyakitkan itu. Suara teriakan melengking melayang layang disekitar kepala Arthur. Gendang telinganya terasa perih, dan jantungnya berdegub semakin keras mendengar suara dari alam barzakh itu. Arthur tak berani sedikitpun membuka matanya untuk melihat seperti apa mahluk yang memiliki suara mengerikan seperti itu. Sejenak kemudian ia berani mengucapkan kalimat-kalimat doa yang dia hafal sambil matanya tetap memejam erat.
Setelah beberapa saat angin bergulung-gulung dan suara teriakan yang melengking tinggi berputar-putar di sekitar tubuhnya, tiba-tiba semuanya menghilang begitu saja dalam hitungan detik. Hutan menjadi sunyi kembali. Beberapa detik kemudian baru Arthur berani membuka matanya perlahan. Ia menoleh kesegala arah untuk mengamati keadaan sekitar. Arthur berusaha melambatkan laju jantungnya yang tak terkendali tadi. Ia duduk bersila dan sedikit menenangkan bathinnya. Ia merasa mahluk aneh yang berusaha menyerangnya tadi kini sudah pergi entah kemana.
Setelah Arthur kembali dapat menguasai dirinya, Arthur melihat kenyataan bahwa ia tak lagi berada di jalan setapak. Ia telah jauh memasuki hutan yang lebat itu. Ia tak mengerti seberapa jauh dan kearah mana ia masuk ke dalam. Ia benar-benar mengalami disorientasi saat ini. Arthur sudah tak kuat lagi menjejakkan kakinya. Ia bersandar di batang pohon terdekat setelah meletakkan ranselnya. Lampu tingnya telah hilang entah kemana saat ia lari tunggang langgang tadi. Suasana menjadi gelap gulita. Ia tak bisa melihat apapun, kecuali dalam jarak sekitar satu meter kedepan. Ia melongok sejenak melihat arlojinya. Pukul 00.09. Baru lewat tengah malam. Ia sudah merasa amat penat. Ia sangat ingin terlelap saat ini. Fisiknya sudah tak sanggup lagi bertahan. Bekalnya sudah habis sama sekali, bahkan air minumnya pun tak tersisa barang setetes. Tenggorokannya terasa amat kering dan badannya terasa lemas tak bertenaga.
Ia pun memejamkan matanya berharap untuk terlelap. Ia hanya ingin tidur dan tak memikirkan apakah ia akan menemui pagi dalam keadaan hidup atau mati. Saat ini ia hanya menginginkan untuk tidur. Itu saja. Ia berdoa kepada Tuhannya, untuk perlindungan atas jiwa raganya. Sesuatu hal yang lama sekali tidak pernah lagi ia kerjakan. Ia sudah pasrah sekarang. Bila nyawanya akan diambil saat ini, ia tidak berkeberatan sama sekali. Ia sudah lelah, jiwa dan raga. Ia sudah berusaha sekuat tenaga mempertahankan nyawanya dalam semalam ini. Ia memohon ampun atas segala yang pernah ia perbuat. Andai ada seseorang yang menemaninya sekarang, ia hanya akan menitipkan permintaan maafnya untuk orang tuanya di rumah, orang tua yang tak pernah ia perhatikan. Yang selalu kalah oleh kesombongan dirinya. Tak terasa air mata menetes disela kelopak matanya yang terpejam. Ia pun kembali pada keinginannya untuk tidur.
Beberapa saat ia memejamkan mata, ia merasa badannnya seperti terangkat perlahan. Dalam keadaan yang lemas tak berdaya, Arthur merasa badannya menjadi ringan dan terbang tinggi melewati pucuk pohon yang tertinggi sekalipun. Lalu badannya terasa berhenti bergerak dan diletakkan oleh sesuatu yang ia tidak tahu apa dengan posisi menekuk bertumpu pada bagian perut pada sebuah batang pohon yang mempunyai permukaan lembut. Lalu ia merasa pohon itu bergerak maju perlahan. Seakan memiliki kaki yang kuat dan berat, pohon itu berjalan langkah demi langkah membawa Arthur pergi dari tempat itu.
Arthur membuka matanya sedikit untuk melihat apa yang terjadi padanya. Sebenarnya ia terkejut mengetahui apa yang terjadi. Tapi, dengan kondisi lemas ia pasrah saja dan ingin kembali tidur. Ternyata ia sedang dibopong di pundak sesuatu mahluk yang berukuran sangat besar dan berbulu lebat. Ia melihat pohon-pohon yang dilewati mahluk itu hanya setinggi telinganya. Arthur melirik kebawa. Permukaan hutan nampak jauh sekali. Ia mengira-ngira, tinggi mahluk itu bisa mencapai tiga meter, mungkin lebih. Ia tak perduli. Ia pun kembali memejamkan matanya dan terlelap. Tak perduli ia dibawa kemana atau nanti bakal disantap oleh mahluk raksasa untuk makan malamnya. Ia tak perduli. Ia sudah pasrah. Dan ia pun benar-benar terlelap kali ini.
~oO0Oo~
Sebentuk suara berbisik-bisik melayang-layang di telinga Arthur membuat ia mau tidak mau terbangun dari tidurnya dan membuka mata sedikit demi sedikit. Kini ia melihat tak nampak pohon-pohon dan tumbuhan disekitarnya. Ia berada di sebuah tanah yang luas dengan lantai berpasir kasar. Terlihat batu dengan berbagai ukuran ditata rapi membentuk suatu pagar mengelilingi tanah lapang itu. Kepalanya bersandar pada tas ranselnya yang entah dibawa oleh siapa. Jas hujannya telah terlepas dan ia melihat jas hujan itu teronggok agak jauh di sebelah kanan badannya. Angin yang bertiup sedikit agak kencang membawa hawa dingin menggigit seluruh tulang yang ada di badannya. Ia merapatkan jaket parasutnya yang kini telah kering agak rapat.
Arthur bangkit dari berbaring dan duduk untuk melihat sekeliling. Suara berbisik-bisik itu semakin ramai terdengar di telinganya. Kepala Arthur menoleh ke kiri dan ke kanan mencari-cari asal suara tersebut. Tak disangkanya, sesuatu hal membuat darah di sekujur tubuhnya bergerak cepat. Ia melihat banyak sekali sosok dengan berbagai bentuk dan ukuran yang berkumpul di berbagai penjuru mata angin. Sosok-sosok itu semua memandangi dirinya seakan dirinya adalah binatang aneh yang dilelang. Dan yang membuat Arthur berkeringat dingin, sosok-sosok itu bisa dipastikan bukan manusia normal seperti dirinya. Mahluk yang mempunyai bentuk-bentuk aneh dan beragam. Ia sulit melukiskan apa yang dihadapinya saat itu.
Badan Arthur menggigil hebat melihat suasana sekitarnya. Ia menghitung mahluk-mahluk yang memiliki wajah dan bentuk tubuh bermacam-macam itu berjumlah ratusan. Yang membuat ia heran, ia melihat berbagai barang yang diletakkan di meja-meja kecil tersebar di seluruh tempat ini. Ia tak tahu, barang macam apa yang ada disitu. Arthur sudah sedemikian takut melihat bentuk dari pengunjung tempat yang ramai itu.
Mahluk-mahluk itu memandangi Arthur dengan seksama dan berbisik-bisik satu sama lain dari kejauhan. Tak terlihat ada keinginan dari mahluk-mahluk itu mendekat padanya. Dari sorot mata mereka tergambar keheranan dan sedikit ketakutan. Bahkan ada yang terlihat menggendong mahluk kecil, sibuk menutupi mata mahluk kecil yang digendong dan menenangkan agar tidak menangis. Tak urung mahluk kecil yang digendong gelisah, lalu yang menggendong segera membentangkan sejenis sayap di punggungnya dan dengan segera terbang menjauh dari tempat itu.
Tak kuat menghadapi tekanan psikis yang luar biasa itu, Arthur akhirnya kembali menjatuhkan kepalanya pada tas ransel yang ada dibelakangnya. Matanya berputar-putar cepat. Ia melihat dunia seakan bergerak berkeliling. Suara bisikan dari mahluk-mahluk itu berganti dengan suara gaduh bahkan ada yang berteriak-teriak menusuk-nusuk telinganya. Lalu ia mendengar kokok ayam samar-samar dikejauhan. Langit diufuk timur mulai menggambarkan semburat jingga. Lalu suara gaduh yang ia dengan perlahan menghilang dari pendengarannya. Tak lama kemudian ia jatuh pingsan.
~oO0Oo~
Pagi itu, suasana di langit Gunung Arjuno sangat cerah. Tak nampak mendung menggayut di langit. Sedikit awan nampak mengambang dan bergerak perlahan. Sekelompok orang terlihat sedang mempersiapkan diri. Mereka memasukkan berbagai macam perlengkapan ke dalam tas ransel mereka. Sebagian lain terlihat sedang berada di sebuah rumah-rumahan berbahan kayu yang ada di Pos Penjaga Hutan di tempat yang dinamakan Plawangan. Nampak di dalam rumah kayu itu Bam, Stelly, Sazha dan Dhani diantara beberapa anggota tim pencari sedang mengelilingi ketua Tim SAR yang ia hubungi dari Pos Penjaga Hutan Plawangan kemarin siang. Mereka tampak sedang di briefing oleh ketua Tim SAR itu.
Lalu dari kejauhan, seseorang terlihat berlari tergesa-gesa dengan menenteng sebuah radio panggil menuju ke arah rumah itu. Setelah beberapa saat, orang itu telah sampai di depan kelompok pencari di dalam rumah.
“ Pak, ada kabar dari penjaga hutan Tretes. Ditemukan laki-laki pingsan di ‘Pasar Dieng’[3] sekitar jam enam pagi tadi oleh penambang belerang. Ciri-cirinya persis korban yang kita cari “jelas orang tadi yang rupanya anggota tim pencari yang bertugas melakukan hubungan dengan menggunakan radio panggil.
“ Sekarang dimana posisi korban? “ tanya Ketua Tim
“ Sekarang sedang diistirahatkan di podok penambang di selatan Kokopan. Masih belum siuman “ jawab orang itu.
Terbersit sedikit lega di wajah para anggota tim pencari, terutama teman-teman Arthur yang hilang selama lima belas jam itu. Mereka menunggu perintah dari ketua tim untuk aksi selanjutnya.
“ Baiklah. kalau begitu kabarnya kita segera packing semuanya dan bergerak menuju Kokopan. Kita lewat Kidangan agar sedikit lebih cepat “
“ Siap “ seru seluruh anggota tim pencari. Lalu mereka bergegas melakukan perintah ketua tim.
“ Teman kalian ditemukan di sebelah utara gunung “ ketua Tim berkata kepada Dhani dan kawan-kawan
“ Iya pak “ kata Dhani “ bagaimana bisa sampai di ‘Pasar Dieng’? “ tanyanya kemudian
“ Itulah, banyak misteri di gunung ini. Teman kalian bukan yang pertama kali mengalami hal itu, banyak yang lainnya mengalami hal serupa “
“ Semua berasal dari Lali Jiwo? “ tanya Sazha
“ Kebanyakan. Tidak hanya Lali Jiwo yang menyimpan banyak misteri di gunung ini. Masih banyak tempat lain. Sebenarnya tidak akan terjadi apa-apa apabila kita masih mentaati peraturan tak tertulis di tempat ini, di tempat manapun saja di muka bumi. Semua ada aturannya bukan? “ tanya ketua tim yang diiyakan oleh Dhani dan kawan-kawan.
“ Kalau begitu, kalian cepat berbenah dan segera berangkat. Teman kalian masih belum siuman, masih membutuhkan pertolongan pertama. Kira-kira kita akan sampai Kokopan sekitar 1–2 jam “
“ Baik pak, kita segera bersiap “ jawab Dhani.
Lalu mereka bersiap-siap. Tak berapa lama terlihat rombongan bergerak menuju ke utara Gunung Arjuno, ke arah Tretes untuk menjemput Arthur yang pingsan di pondokan penambang belerang di lereng Gunung Welirang.
Langit semakin cerah, secerah harapan Dhani dan kawan-kawannya untuk bisa menolong Arthur yang dalam semalam mengalami hal yang diluar batas akal manusia. Dibelakang mereka tampak lereng Gunung Arjuno yang menyimpan banyak pertanyaan yang tak tergali. Gunung yang berselimut hijau pohon-pohon pinus dan cemara di Cemoro Sewu juga pepohonan lebat Hutan Lali Jiwo. Lamat-lamat terdengar suara teriakan-teriakan miris dari arah Hutan Lali Jiwo yang penuh misteri.
S E L E S A I
Catatan : Hutan Lalijiwo memang terkenal dengan keangkerannya sejak jaman dahulu. Apabila kalian adalah pendaki gunung di daerah jawa Timur, kalian pasti kenal dengan mitos Lalijiwo. Di lereng Gunung Arjuno sendiri banyak bertebaran pepunden-pepunden warisan nenek moyang kita, maaf, saya lupa semua namanya. Pepunden itu banyak sekali bentukya. Ada patung singa, patung Semar, makam dan lainnya. Hutan Lali Jiwo sendiri dahulu amat sangat lebat dan menakutkan. Para pendaki yang ingin mencapai puncak Gunung Arjuno yang memilih jalur dari Kota Lawang, harus melewati hutan ini. Mitosnya, apabila kita tidak berkonsentrasi, ngelamun, kita akan dibelokkan jalannya dan tersesat. Bahkan yang selamat pernah bercerita, bahwa ia melihat temannya yang didepan. Padahal punggung temannya yang dilihatnya itu bukanlah temannya yang sebenarnya. Tetapi jin yang menyerupai temannya dan mengelabuhi mata korban. Namun sayang. Keangkeran hutan kini tak ada lagi. Hutan Lali Jiwo sekarang sudah gundul akibat ilegal logging, bahkan yang legal sekalipun.
Sedangkan Pasar Dieng dipercaya sebagai pasar lelembut yang sering berkumpul pada hari hari tertentu. Letaknya di perbatasan Gunung Arjuno dan Gunung Welirang. Pendaki akan melewati daerah ini bila mendaki Gunung Arjuno via Tretes, Pandaan
[3] Daerah di lereng utara Gunung Arjuno yang dipercayai sebagai pasar lelembut
`