Harlockwords’s Blog – …Story came Out From My Mind…….

Desember 21, 2008

Jalan Setapak LALI JIWO – Bag 4 Tamat

Filed under: Horor,Novelette — harlockwords @ 10:56 am
Tags: , , ,

`

 

JALAN SETAPAK LALIJIWO

Surabaya, 15 Desember 2008 – Harlock

 

“…tak akan kubiarkan pergi, bahkan sedikit lelap. Semua ada digenggamanku…”

 

 Bagian 4

 

Sore itu matahari masih memancarkan sinarnya walau separuh badannya telah ditelan cakrawala. Perlahan tapi pasti sang mentari mulai menata peraduannya untuk tidurnya malam nanti. Semburat cahaya jingga menyorot dari arah barat menembus lebatnya dedaunan Alas Lalijiwo. Sekelompok orang nampak berjalan menyebar di sekitar hutan. Beberapa terlihat menggendong tas ransel yang terlihat penuh menggembung. Ditangan mereka tergenggam galah untuk menyibak sesemakan yang lumayan rimbun. Terdengar teriakan-teriakan mereka memanggil nama seseorang.

 

“ Bagaimana? Hari sudah hampir malam. Kalau kita teruskan mencari juga tak akan membuahkan hasil. Bisa-bisa besok kita nggak punya tenaga untuk melanjukan pencarian “ ujar salah satu dari mereka.

“ OK. Kita hentikan pencarian sekarang. Kita balik ke pos Plawangan untuk koordinasi ulang. Man, kabari kelompok Buaya Satu dan Buaya Dua, secepatnya kembali ke pos komando “

 

Seseorang yang dipanggil segera meraih handy-talkie yang disangkutkan di tali pundak kemeja dan menghubungi rekan-rekan mereka. Terdengar obrolan khas Tim Penyelamatan. Tim utama segera mengumpulkan anggota mereka dan segera berkumpul di mulut hutan. Di antara mereka nampak empat orang anak muda yang menampakkan wajah khawatir. Mereka adalah Stelly, Bam, Sazha dan Dhani.

 

“ Bagaimana mas? Kok sudah mau balik? “ tanya Sazha pada pimpinan regu SAR di depannya.

“ Matahari sudah tenggelam, dik. Sebaiknya kita lanjutkan besok subuh, “

“ Mengapa nggak diteruskan sampai nanti malam, mas? “ ganti Bam yang bertanya.

“ Nggak efektif dik. Kita nggak bisa menjangkau daerah yang tersembunyi bila kita melakukan pencarian malam. Akhirnya kita harus kembali kemari besoknya dengan stamina yang terkuras habis, “

 

Mereka merasa penjelasan ketua regu itu sangat logis. Akhirnya mereka menyetujui rencana ketua regu dan segera kembali ke pos di Plandaan. Matahari telah tiba di di dipan tempatnya tidur. Sinar jingga telah hilang tergantikan dengan kegelapan yang perlahan melahap seluruh permukaan Gunung Arjuno, begitu pula kekelaman telah merengut hati Dhani yang berjalan lesu mengikuti Tim SAR kembali ke Pos Komando di Plandaan. Hatinya benar–benar tidak bisa tenang menghadapi kenyataan ini. Ia menghembuskan nafas berat.

 

  Semoga Tuhan melindungimu malam ini Thur. Semoga………….”

 

                                                                              ~oO0Oo~

 

Hujan lebat yang menyiksa Arthur akhirnya semakin berkurang. Tinggal tetes-tetes kecil yang jatuh menimpa tudung jas hujan Arthur.  Angin kencang yang datang secara tiba-tiba pun hilang seperti ketika datang. Tak nampak lagi daun-daun berguguran mengganggu perjalanan Arthur. Tinggal tanah becek yang sedikit menghambat jalannya. Sesekali Arthur seperti kehilangan keseimbangan karena licinnya jalan berlumpur.

 

Beberapa langkah kemudian, Arthur dihadapkan dengan kenyataan yang membuat ia tak habis pikir. Kini ia melangkah di tanah yang kering. Tak nampak sedikitpun hujan pernah mengguyur tempat itu. Daun-daun perdu di samping jalan setapak juga tak meninggalkan tetesan air. Arthur menengadahkan kepalanya. Ia melihat taburan bintang yang beratus ratus jumlahnya di langit gunung ini. Ia terbengong melihatnya. Ia kemudian menegokkan kepalanya kebelakang. Nampak tanah basah masih menggenang di lantai huta. Ia mendekat ke arah tanah basah itu dan berjongkok. Ia pegang tanah itu dengan ujung telunjuknya. Ia melihat ke sesemakan. Air hujan yang masih menempel di dedaunan perlahan menghilang tanpa bekas. Tanah yang lembek mengandung air juga perlahan mengering. Bekas jejak langkah yang terukir di tanah basah itu juga perlahan menghilang.

 

Arthur melongo melihat kenyataan itu. Jaket parasutnya masih saja basah kuyup. Bahkan sepatu hikingnya juga masih bersuara kecepok bila dipakai berjalan. Kemana perginya air-air itu. Apakah ini semua hanya halusinasi? Apa bila iya, akankah baju yang dipakainya basah seperti ini? Bahkan rasa pedih di muka akibat hujaman hujan angin yang ia lawan barusan masih belum hilang rasanya. Perjalanan ini dirasa sangat tidak masuk diakal baginya. Tapi apa daya? Ia harus menyelesaikan apa yang ia telah mulai. Ia harus lekas keluar dari tempat terkutuk ini. Tempat yang menguras seluruh tenaga dan jiwanya. Ia harus kuat. Kuat sampai ia tak sanggup lagi mempertahankan nyawanya.

 

‘PERSETAN!’ runtuknya. Ia lalu berdiri dan memulai lagi perjalanannya. Ia masih belum mau melepas jas hujannya. Hanya kerudungnya saja yang ia buka kebelakang. Kini perjalanannya jauh lebih mudah dari beberapa menit yang lalu. Jalan setapak sudah tidak berlumpur lagi. Lampu ting pun apinya tidak bergerak-gerak, sehingga jalan menjadi lebih terang. Apalagi bintang-bintang sejuta itu pun ikut memberikan sumbangan penerangan bagi Arthur. Hewan-hewan malam kembali berpesta pora. Suaranya menjadi hiburan tersendiri bagi perjalanan Arthur. Sesekali kepak sayap kelelawar terdengar melintasi langit diatas Arthur. Dari arah belakang menuju kedepan, dari arah kiri ke kanan, kemblai lagi dan seterusnya.

 

Arthur yang berjalan menyeret itu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah kepakan sayap yang bersuara tidak seperti kepak sayap kelelawar dari arah belakang. Kepakannya sangat berat, menggambarkan lebar sayap yang luar biasa. Sontak Arthur merunduk cepat. Ia menengadahkan kepala mencari asal suara. Ia tak melihat apapun disana. Hanya daun-daun di pucuk yang tinggi bergerak hebat. Sebagian daun rontok dan rantingnya menimpa kepala Arthur. Kepakan sayap itu masih terdengar menuju arah depan dan menghilang. Arthur benar-benar mengalami teror yang luar biasa pada psikisnya. Badannya bergetar, keringat dingin kembali memenuhi wajah dan badannya yang telah sedikit kering. Ia membayangkan bahwa mahluk yang tak terlihat itu akan menghadang dirinya didepan. Ia tak hendak berdiri dari jongkoknya. Kakinya gemetar karena takut dan shok.

 

Lama ia berdiam diri hingga ia memutuskan untuk berjalan kembali. Arthur berjalam mengendap-endap waspada. Ia mempersiapkan diri kalau mahluk yang dalam bayangannya sangat mengerikan dan bisa terbang itu akan menyergapnya entah dari mana. Tiba-tiba, sesuatu telah menyenggol pundak Arthur. Arthur menghentikan jalannya. Dengan perlahan ia menoleh kebelakang. Namun sekali lagi, ia tak melihat apa-apa disana. Tapi, sebuah suara wanita yang lembut berbisik ditelinga Arthur. Pundak kirinya nya terasa dipegang seseorang sehingga badannya sedikit miring ke kiri. Kepala Arthur menjadi kaku sekali. Ia tak bisa menoleh ke arah yang ia inginkan. Suara itu tetap berbisik-bisik ditelinganya. Tak jelas juga apa yang dikatakan sosok wanita tak kasat mata itu. yang pasti, badan Arthur terlihat menggigil hebat. Akhirnya ia jatuh terduduk pada lututnya. Otot-ototnya terasa lemas tak bertenaga. Ingin rasanya ia pingsan disitu, tetapi kuasa lain tak mengijinkannya utuk terlelap. Mata dan kesadarannya dipaksa untuk menikmati teror yang mengerikan itu.

 

Arthur yang baru pertama kali merasakan teror oleh mahluk halus terpaksa mengakui bahwa ia tak mampu untuk melawan rasa takut yang hebat yang kini melanda dirinya. Namun ia tak ingin selamanya dikuasai oleh mahluk wanita itu. ia paksa matanya untuk memejam. Lalu ia sedikit bermeditasi sambil membaca apa yang ia bisa baca. Lengan kanan Arthur terangkat perlahan. Telapak tangan kanannya membuka dan diarahkan ke pundak kirinya. Dengan satu hentakan yang pasti, Arthur menepuk pundak kiri yang ia rasa sedang dipegang oleh sesuatu. Entah karena kekuatan apa, pundak itu telah bisa digerakkan lagi. Arthur mendengar suara bisikan itu berganti menjadi suara jeritan yang seperti melayang di ruang kosong. Jeritan itu terdengar menjauh perlahan dan kemudian hilang.

 

Nafas Arthur terengah-engah setelah terbebas dari himpitan mental yang sedemikian kuat. Kedua telapak tangannya melekat di tanah dan lengannya menumpu seluruh badannya. Nampak tetesan keringat sebesar biji jagung menetes melewati dahi, hidung dan kemudian jatuh ke tanah. Lama ia terdiam di atas tanah. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara teriakan-teriakan yang menyayat hati siapapun. Arthur menoleh kebelakang  dan ia melihat pohon-pohon bertumbangan. Daun-daun perdu berterbangan. Gemuruh angin yang membawa debu hutan bergulung-gulung menuju ke arahnya. Tapi ia tak melihat sesuatu yang membuat semua berantakan. Ia tak sanggup lagi mengahdapi semua itu. Dengan segera ia memaksakan diri untuk bangkit dan segera berlari menghindari kekuatan yang tak kasat mata itu.

 

Kini Arthur berlari seperti kesetanan. Tak ingin sedikitpun ia menoleh kebelakang atau melambatkan larinya. Suara teriakan melengking yang bersahut-sahutan itu bahkan tidak bertambah jauh sediktipun, bahkan Arthur merasa suara-suara teriakan itu semakin betambah dekat ke arah dirinya. Jantung Arthur berdegub kencang. Dadanya semakin sakit terdesak oleh degub jantung dan perasaan takut yang menggelora. Ia sudah tak tahu arah sama sekali. Bahkan ia juga tidak tahu apakah ia tetap di jalur jalan setapak atau ia sudah masuk kedalam hutan yang lebat itu. Berkali-kali ia tersandung oleh akar-akar pohon yang menjalar tak teratur, namun dengan kekuatan fisiknya ia berusaha menyeimbangkan diri dan tetap berlari sekuat tenaganya.

 

Hingga beberapa menit kemudian, Arthur tersandung sebatang akar pohon yang sedikit menyembul keatas dan membentuk lobang diantara batang akar dan lantai hutan. Telapak kaki Arthur tersangkut lobang itu dan ia kehilangan keseimbangan sehingga ia jatuh tertelungkup kedepan. Secepatnya ia membalikkan badan menghadap sesatu yang mengancam jiwanya itu. Arthur mendengar suara teriakan yang menyakitkan gendang telinga dan mengiris hati menjadi semakin dekat dengan dirinya. Gulungan angin yang membawa debu hutan terlihat telah sampai beberapa meter di depannya. Walau Arthur telah mempersiapkan diri menghadapi segalanya, tak urung ia memejamkan mata menunggu apapun yang akan terjadi menimpa dirinya. Ia sudah pasrah.

 

Gulungan debu menerpa wajah Arthur dan membuat Arthur sediit menoleh ke samping. Wajahnya mengernyit, lengannya diangkat untuk melindungi wajah dari terpaan debu-debu yang sedikit menyakitkan itu. Suara teriakan melengking melayang layang disekitar kepala Arthur. Gendang telinganya terasa perih, dan jantungnya berdegub semakin keras mendengar suara dari alam barzakh itu. Arthur tak berani sedikitpun membuka matanya untuk melihat seperti apa mahluk yang memiliki suara mengerikan seperti itu. Sejenak kemudian ia berani mengucapkan kalimat-kalimat doa yang dia hafal sambil matanya tetap memejam erat.

 

Setelah beberapa saat angin bergulung-gulung  dan suara teriakan yang melengking tinggi berputar-putar di sekitar tubuhnya, tiba-tiba semuanya menghilang begitu saja dalam hitungan detik. Hutan menjadi sunyi kembali. Beberapa detik kemudian baru Arthur berani membuka matanya perlahan. Ia menoleh kesegala arah untuk mengamati keadaan sekitar. Arthur berusaha melambatkan laju jantungnya yang tak terkendali tadi. Ia duduk bersila dan sedikit menenangkan bathinnya. Ia merasa mahluk aneh yang berusaha menyerangnya tadi kini sudah pergi entah kemana.

 

Setelah Arthur kembali dapat  menguasai dirinya, Arthur melihat kenyataan bahwa ia tak lagi berada di jalan setapak. Ia telah jauh memasuki hutan yang lebat itu. Ia tak mengerti seberapa jauh dan kearah mana ia masuk ke dalam. Ia benar-benar mengalami disorientasi saat ini. Arthur sudah tak kuat lagi menjejakkan kakinya. Ia bersandar di batang pohon terdekat setelah meletakkan ranselnya. Lampu tingnya telah hilang entah kemana saat ia lari tunggang langgang tadi. Suasana menjadi gelap gulita. Ia tak bisa melihat apapun, kecuali dalam jarak sekitar satu meter kedepan. Ia melongok sejenak melihat arlojinya. Pukul 00.09. Baru lewat tengah malam. Ia sudah merasa amat penat. Ia sangat ingin terlelap saat ini. Fisiknya sudah tak sanggup lagi bertahan. Bekalnya sudah habis sama sekali, bahkan air minumnya pun tak tersisa barang setetes. Tenggorokannya terasa amat kering dan badannya terasa lemas tak bertenaga.

 

Ia pun memejamkan matanya berharap untuk terlelap. Ia hanya ingin tidur dan tak memikirkan apakah ia akan menemui pagi dalam keadaan hidup atau mati. Saat ini ia hanya menginginkan untuk tidur. Itu saja. Ia berdoa kepada Tuhannya, untuk perlindungan atas jiwa raganya. Sesuatu hal yang lama sekali tidak pernah lagi ia kerjakan. Ia sudah pasrah sekarang. Bila nyawanya akan diambil saat ini, ia tidak berkeberatan sama sekali. Ia sudah lelah, jiwa dan raga. Ia sudah berusaha sekuat tenaga mempertahankan nyawanya dalam semalam ini. Ia memohon ampun atas segala yang pernah ia perbuat. Andai ada seseorang yang menemaninya sekarang, ia hanya akan menitipkan permintaan maafnya untuk orang tuanya di rumah, orang tua yang tak pernah ia perhatikan. Yang selalu kalah oleh kesombongan dirinya. Tak terasa air mata menetes disela kelopak matanya yang terpejam. Ia pun kembali pada keinginannya untuk tidur.

 

Beberapa saat ia memejamkan mata, ia merasa badannnya seperti terangkat perlahan. Dalam keadaan yang lemas tak berdaya, Arthur merasa badannya menjadi ringan dan terbang tinggi melewati pucuk pohon yang tertinggi sekalipun. Lalu badannya terasa berhenti bergerak dan diletakkan oleh sesuatu yang ia tidak tahu apa dengan posisi menekuk bertumpu pada bagian perut pada sebuah batang pohon yang mempunyai permukaan lembut. Lalu ia merasa pohon itu bergerak maju perlahan. Seakan memiliki kaki yang kuat dan berat, pohon itu berjalan langkah demi langkah membawa Arthur pergi dari tempat itu.

 

Arthur membuka matanya sedikit untuk melihat apa yang terjadi padanya. Sebenarnya ia terkejut mengetahui apa yang terjadi. Tapi, dengan kondisi lemas ia pasrah saja dan ingin kembali tidur. Ternyata ia sedang dibopong di pundak sesuatu mahluk yang berukuran sangat besar dan berbulu lebat. Ia melihat pohon-pohon yang dilewati mahluk itu hanya setinggi telinganya. Arthur melirik kebawa. Permukaan hutan nampak jauh sekali. Ia mengira-ngira, tinggi mahluk itu bisa mencapai tiga meter, mungkin lebih. Ia tak perduli. Ia pun kembali memejamkan matanya dan terlelap. Tak perduli ia dibawa kemana atau nanti bakal disantap oleh mahluk raksasa untuk makan malamnya. Ia tak perduli. Ia sudah pasrah. Dan ia pun benar-benar terlelap kali ini.

 

                                                                              ~oO0Oo~

 

Sebentuk suara berbisik-bisik melayang-layang di telinga Arthur membuat ia mau tidak mau terbangun dari tidurnya dan membuka mata sedikit demi sedikit. Kini ia melihat tak nampak pohon-pohon dan tumbuhan disekitarnya. Ia berada di sebuah tanah yang luas dengan lantai berpasir kasar. Terlihat batu dengan berbagai ukuran ditata rapi membentuk suatu pagar mengelilingi tanah lapang itu. Kepalanya bersandar pada tas ranselnya yang entah dibawa oleh siapa. Jas hujannya telah terlepas dan ia melihat jas hujan itu teronggok agak jauh di sebelah kanan badannya. Angin yang bertiup sedikit agak kencang membawa hawa dingin menggigit seluruh tulang yang ada di badannya. Ia merapatkan jaket parasutnya yang kini telah kering agak rapat.

 

Arthur bangkit dari berbaring dan duduk untuk melihat sekeliling. Suara berbisik-bisik itu semakin ramai terdengar di telinganya. Kepala Arthur menoleh ke kiri dan ke kanan mencari-cari asal suara tersebut. Tak disangkanya, sesuatu hal membuat darah di sekujur tubuhnya bergerak cepat. Ia melihat banyak sekali sosok dengan berbagai bentuk dan ukuran yang berkumpul di berbagai penjuru mata angin. Sosok-sosok itu semua memandangi dirinya seakan dirinya adalah binatang aneh yang dilelang. Dan yang membuat Arthur berkeringat dingin, sosok-sosok itu bisa dipastikan bukan manusia normal seperti dirinya. Mahluk yang mempunyai bentuk-bentuk aneh dan beragam. Ia sulit melukiskan apa yang dihadapinya saat itu.

 

Badan Arthur menggigil hebat melihat suasana sekitarnya. Ia menghitung mahluk-mahluk yang memiliki wajah dan bentuk tubuh bermacam-macam itu berjumlah ratusan. Yang membuat ia heran, ia melihat berbagai barang yang diletakkan di meja-meja kecil tersebar di seluruh tempat ini. Ia tak tahu, barang macam apa yang ada disitu. Arthur sudah sedemikian takut melihat bentuk dari pengunjung tempat yang ramai itu.

 

Mahluk-mahluk itu memandangi Arthur dengan seksama dan berbisik-bisik satu sama lain dari kejauhan. Tak terlihat ada keinginan dari mahluk-mahluk itu mendekat padanya. Dari sorot mata mereka tergambar keheranan dan sedikit ketakutan. Bahkan ada yang terlihat menggendong mahluk kecil, sibuk menutupi mata mahluk kecil yang digendong dan menenangkan agar tidak menangis. Tak urung mahluk kecil yang digendong gelisah, lalu yang menggendong segera membentangkan sejenis sayap di punggungnya dan dengan segera  terbang menjauh dari tempat itu.

 

Tak kuat menghadapi tekanan psikis yang luar biasa itu, Arthur akhirnya kembali menjatuhkan kepalanya pada tas ransel yang ada dibelakangnya. Matanya berputar-putar cepat. Ia melihat dunia seakan bergerak berkeliling. Suara bisikan dari mahluk-mahluk itu berganti dengan suara gaduh bahkan ada yang berteriak-teriak menusuk-nusuk telinganya. Lalu ia mendengar kokok ayam samar-samar dikejauhan. Langit diufuk timur mulai menggambarkan semburat jingga. Lalu suara gaduh yang ia dengan perlahan menghilang dari pendengarannya. Tak lama kemudian ia jatuh pingsan.

 

                                                                              ~oO0Oo~

 

Pagi itu, suasana di langit Gunung Arjuno sangat cerah. Tak nampak mendung menggayut di langit. Sedikit awan nampak mengambang dan bergerak perlahan. Sekelompok orang terlihat sedang mempersiapkan diri. Mereka memasukkan berbagai macam perlengkapan ke dalam tas ransel mereka. Sebagian lain terlihat sedang berada di sebuah rumah-rumahan berbahan kayu yang ada di Pos Penjaga Hutan di tempat yang dinamakan Plawangan. Nampak di dalam rumah kayu itu Bam, Stelly, Sazha dan Dhani diantara beberapa anggota tim pencari sedang mengelilingi ketua Tim SAR yang ia hubungi dari Pos Penjaga Hutan Plawangan kemarin siang. Mereka tampak sedang di briefing oleh ketua Tim SAR itu.

 

Lalu dari kejauhan, seseorang terlihat berlari tergesa-gesa dengan menenteng sebuah radio panggil menuju ke arah rumah itu. Setelah beberapa saat, orang itu telah sampai di depan kelompok pencari di dalam rumah.

 

“ Pak, ada kabar dari penjaga hutan Tretes. Ditemukan laki-laki pingsan di ‘Pasar Dieng’[3] sekitar jam enam pagi tadi oleh penambang belerang. Ciri-cirinya persis korban yang kita cari “jelas orang tadi yang rupanya anggota tim pencari yang bertugas melakukan hubungan dengan menggunakan radio panggil.

“ Sekarang dimana posisi korban? “ tanya Ketua Tim

“ Sekarang sedang diistirahatkan di podok penambang di selatan Kokopan. Masih belum siuman “ jawab orang itu.

 

Terbersit sedikit lega di wajah para anggota tim pencari, terutama teman-teman Arthur yang hilang selama lima belas jam itu. Mereka menunggu perintah dari ketua tim untuk aksi selanjutnya.

 

“ Baiklah. kalau begitu kabarnya kita segera packing semuanya dan bergerak menuju Kokopan. Kita lewat Kidangan agar sedikit lebih cepat “

“ Siap “ seru seluruh anggota tim pencari. Lalu mereka bergegas melakukan perintah ketua tim.

“ Teman kalian ditemukan di sebelah utara gunung “ ketua Tim berkata kepada Dhani dan kawan-kawan

“ Iya pak “ kata Dhani “ bagaimana bisa sampai di ‘Pasar Dieng’? “ tanyanya kemudian

“ Itulah, banyak misteri di gunung ini. Teman kalian bukan yang pertama kali mengalami hal itu, banyak yang lainnya mengalami hal serupa “

“ Semua berasal dari Lali Jiwo? “ tanya Sazha

“ Kebanyakan. Tidak hanya Lali Jiwo yang menyimpan banyak misteri di gunung ini. Masih banyak tempat lain. Sebenarnya tidak akan terjadi apa-apa apabila kita masih mentaati peraturan tak tertulis di tempat ini, di tempat manapun saja di muka bumi. Semua ada aturannya bukan? “ tanya ketua tim yang diiyakan oleh Dhani dan kawan-kawan.

“ Kalau begitu, kalian cepat berbenah dan segera berangkat. Teman kalian masih belum siuman, masih membutuhkan pertolongan pertama. Kira-kira kita akan sampai Kokopan sekitar 12 jam “

“ Baik pak, kita segera bersiap “ jawab Dhani.

 

Lalu mereka bersiap-siap. Tak berapa lama terlihat rombongan bergerak menuju ke utara Gunung Arjuno, ke arah Tretes untuk menjemput Arthur yang pingsan di pondokan penambang belerang di lereng Gunung Welirang.

 

Langit semakin cerah, secerah harapan Dhani dan kawan-kawannya untuk bisa menolong Arthur yang dalam semalam mengalami hal yang diluar batas akal manusia. Dibelakang mereka tampak lereng Gunung Arjuno yang menyimpan banyak pertanyaan yang tak tergali. Gunung yang berselimut hijau pohon-pohon pinus dan cemara di Cemoro Sewu juga pepohonan lebat Hutan Lali Jiwo. Lamat-lamat terdengar suara teriakan-teriakan miris dari arah Hutan Lali Jiwo yang penuh misteri.

  

S E L E S A I

 

Catatan : Hutan Lalijiwo memang terkenal dengan keangkerannya sejak jaman dahulu. Apabila kalian adalah pendaki gunung di daerah jawa Timur, kalian pasti kenal dengan mitos Lalijiwo. Di lereng Gunung Arjuno sendiri banyak bertebaran pepunden-pepunden warisan nenek moyang kita, maaf, saya lupa semua namanya. Pepunden itu banyak sekali bentukya. Ada patung singa, patung Semar, makam dan lainnya. Hutan Lali Jiwo sendiri dahulu amat sangat lebat dan menakutkan. Para pendaki yang ingin mencapai puncak Gunung Arjuno yang memilih jalur dari Kota Lawang, harus melewati hutan ini. Mitosnya, apabila kita tidak berkonsentrasi, ngelamun, kita akan dibelokkan jalannya dan tersesat. Bahkan yang selamat pernah bercerita, bahwa ia melihat temannya yang didepan. Padahal punggung temannya yang dilihatnya itu bukanlah temannya yang sebenarnya. Tetapi jin yang menyerupai temannya dan mengelabuhi mata korban. Namun sayang. Keangkeran hutan kini tak ada lagi. Hutan Lali Jiwo sekarang sudah gundul akibat ilegal logging, bahkan yang legal sekalipun.

 

                    Sedangkan Pasar Dieng dipercaya sebagai pasar lelembut yang sering berkumpul pada hari hari tertentu. Letaknya di perbatasan Gunung Arjuno dan Gunung Welirang. Pendaki akan melewati daerah ini bila mendaki Gunung Arjuno via Tretes, Pandaan

 

[3] Daerah di lereng utara Gunung Arjuno yang dipercayai sebagai pasar lelembut

 

 

 

 

`

Desember 19, 2008

Jalan Setapak LALI JIWO – Bag 3

Filed under: Horor,Novelette — harlockwords @ 11:56 am
Tags: , ,

.

 

JALAN SETAPAK LALIJIWO

Surabaya, 15 Desember 2008 – Harlock

 “…tak akan kubiarkan pergi, bahkan sedikit lelap. Semua ada digenggamanku…”

 

Bagian 3

 

 

Baru saja ia akan terlelap, Arthur merasa ada sesuatu yang menyenggol lengan kanannya disertai suara gemerisik daun perdu yang berada disekelilingnya. Sontak ia terjaga kembali. Cepat-cepat ia bangkit dan memeriksa semak-semak di sekitarnya. Suara gemrisik dedaunan itu telah berpindah beberapa meter di sebelah kiri dari yang pertama. Pandangan Arthur cepat berpindah menuju asal suara itu. Arthur merunduk mengambil lampu ting yang lalu diangkatnya kedepan tinggi-tinggi. Ia melihat dedaunan perdu yang rendah bergerak-gerak lalu diam.

 

“ Hoei….siapa disitu! “ Arthur berteriak.

 

Tidak ada jawaban sama sekali. Arthur ingin kembali berteriak, namun tiba-tiba ia melihat sesuatu bayangan berkelebat diantara dahan pepohonan. Bayangan itu melesat menyeberangi jalan setapak dan hinggap di dahan pohon yang tinggi dibelakang Arthur. Arthur menolehkan seluruh badannya mengikuti arah kemana bayangan itu pergi. Ia acungkan lampu tingnya kearah itu. Ia tak melihat apapun disana. Daun-daun di dahan yang habis dihinggapi sesuatu tadi masih bergerak-gerak.

 

“ Ya Tuhan…apa itu tadi…mungkinkah monyet hutan? “

 

Lama sekali Arthur berdiri menyiagakan dirinya. Namun tak ada sesuatu apapun yang bergerak lagi dalam jarak pandangnya. Kembali suasana menjadi sepi. Setelah yakin tidak ada apapun lagi, kembali Arthur merebahkan badannya di tempat semula. Lampu ting ia taruh di sebelah tak jauh dari ia duduk. Ketegangan demi ketegangan yang dialami membuat Arthur semakin susah untuk beristirahat. Matanya tetap membelalak meskipun fisiknya sudah tak mampu lagi untuk bertahan. Ia hanya duduk bersandarkan batang pohon sembari merenungkan apa yang telah terjadi.

 

Ia melihat kembali ke arlojinya. Pukul 22.06. Ia berdecak. Lama sekali waktu ini berjalan. Ingin sekali ia tidur terlelap bagai seonggok kayu dan nanti dibangunkan oleh mentari pagi yang segar. Tapi hingga saat ini, ia tak juga bisa meletakkan kelopak matanya. Dan waktu yang berjalan baru sekitar lima belas menit saja. Walaupun begitu ia tetap berusaha untuk memejamkan matanya.

 

Beberapa menit ia tergeletak pasrah dibawah pohon, tiba-tiba dari gerumbulan perdu di seberang jalan setapak meloncat sebuah batu krikil yang tak terlalu besar dan jatuh di antara kedua paha Arthur. Arthur yang sudah kecapaian dalam ketegangan beruntun hanya melongo dengan mulut terbuka melihat kejadian itu. Ia hanya duduk terdiam ditempatnya sambil memperhatikan kerikil-kerikil yang dilemparkan padanya berkali-kali.

 

“ Tuhanku…apa lagi ini “

“ Hoi. Siapa kamu? Keluar! “ Arthur membentak kepada gerumbulan semak yang masih bergerak gerak halus. Beberapa kerikil masih berloncatan keluar menujunya. Tidak terdengar jawaban sama sekali.

 

Arthur mengambil salah satu batu yang dilempar kepadanya untuk membalas melempar ke balik gerumbul semak. ‘GILA!’ Arthur melemparkan kembali batu itu ke tanah. Batu-batu itu ternyata panas sekali. Nampak jari tangan Arthur melepuh dan berasap. Arthur terlonjak. Rasa kantuk yang menderanya sedari tadi  tiba-tiba hilang entah kemana. Ia berjongkok memegang telapak tangannya yang melepuh.

 

“ Tuhan!! Aduh…panas! “

 

Wajah Arthur mengernyit dalam. Mulutnya meringis menahan rasa sakit di telapak tangan kanan. Dengan masih mengaduh dan memegang erat pergelangan tangan kanannya, ia berdiri dan mendekat kearah semak-semak darimana batu-batu itu berasal. Dengan geram Arthur menyibak gerumbulan dan memeriksa sekelilingnya. Pikirannya sudah tidak fokus lagi. Ia hanya ingin menghentikan gangguan-gangguan yang menimpa dirinya, walau mati taruhannya.

 

Namun, ia tak menemukan apa-apa disana. Arthur melongok ke arah yang lebih jauh. Namun sama saja. Tidak ada apa-apa walau hanya hewan kecil pun. Tiba-tiba Arthur dikagetkan dengan suara tonggeret yang memulai lagi pesta pora setelah ada sesuatu kuasa yang menghentikan mereka beberapa jam yang lalu. Arthur seperti tersadar dari mimpi. Kemudian ia memutuskan untuk kembali ke tempat ia duduk. Semilir angin yang telah kembali menghembus menggesek dedaunan hutan menimbulkan alunan simfoni bersama-sama dengan serangga malam. Kepak sayap kelelawar seakan ikut memperindah alunan musik yang memenuhi hutan malam itu.

 

Arthur kembali merebahkan pantatnya di lantai hutan. Sejenak ia ingin melihat tangan kanannya yang melepuh kepanasan. Mata Arthur membelalak lebar. Ia seperti tak percaya bahwa ia melihat tangannya tak ada bekas terbakar seperti yang ia lihat sebelumnya. Seperti tak pernah mengalami apapun. Arthur menggelengkan kepalanya. Kini ia sangsi akan kewarasan otaknya. Ia mencoba menelaah satu persatu yang terjadi. Apakah semua itu nyata adanya? Apakah ia sudah tak waras karena dipengaruhi oleh rasa penat dan takutnya? Semua menjadi suatu pertanyaan besar dalam benaknya.

 

Angin yang berhembus pelan membawa hawa dingin hingga menusuk tulang Arthur. Arthur yang berperawakan tinggi dengan badan yang sedikit berotot itu tak kuat juga melawan hawa dingin pinggiran Gunung Arjuno. Ia merapatkan jaket parasutnya yang sudah cukup tebal. Tak urung jaket itu belum bisa menghangatkan badan Arthur yang kedinginan. Angin itu membuat mata Arthur menjadi berat. Kelopaknya mulai menutup perlahan. Ia pun sedikit bersukur dalam hati. Sebentar lagi ia akan terlelap.

 

Baru saja ia menempuh perjalanan menuju alam bawah sadar, ia kembali terjaga oleh kerjapan sinar menembus kelopak mata dan suara keras yang memekakkan terlinga. Sedikit Arthur mengangkat kepalanya, lalu diletakkan kembali. Sinar yang sejenak menyinari seluruh hutan datang lagi diikuti gemuruh suara yang sahut menyaut di langit. Arthur menengadahkan kepalanya.

 

“ Oh..Gusti, masih belum cukup kah yang aku alami? “

“ Semoga tidak sekarang turunnya…..”

 

Ia hanya ingin tidur kembali. Direbahkannya kepala dan punggungnya di batang pohon dan mencoba lagi untuk memejam. Kilat dan guntur tetap saja hadir sahut menyahut di atas kepala Arthur. Ia tak peduli sama sekali. Tetap saja ia berkeinginan untuk tidur sejenak sebelum hujan benar benar mengguyur lereng Gunung Arjuno. Nasib baik memang tak memihak Arthur hari ini. Hanya selang beberapa menit sejak Arthur mendengar suara guntur yang pertama, tetesan air telah tumpah membasahi seluruh permukaan lereng gunung. Arthur mendesahkan nafas berat. Dengan enggan ia berdiri untuk memakai jas hujan hijau lumut yang di pack dalam tas ransel besarnya.

 

“ Hujan benar-benar turun sekarang. Apa yang harus kulakukan? “

“ Sebaiknya aku jalan lagi saja…toh aku sudah meregangkan kaki ku, dan aku pun tak bisa tidur lagi..”

 

Semakin lama hujan tidak semakin reda, malah cenderung semakin menjadi. Guntur dan kilat datang sambung menyambung. Cuaca menjadi amat mengerikan. Arthur terus berjalan dengan berpatokan pada jalan setapak yang membujur jelas di tanah basah. Ia kini tak memaksakan diri untuk segera sampai pada tujuannya. Jalan Arthur sedikit lambat. Bahkan terlihat hanya berjalan selangkah demi selangkah. Entah karena ia sengaja memperlambat jalannya atau karena kakinya memang sudah tak kuat lagi untuk berjalan cepat.

 

Hujan lebat dan kilat kini memanggil saudaranya untuk bergabung dalam pesta malam itu. Angin dengan kecepatan tinggi datang menerpa wajah Arthur dari arah depan. Kerudung jas hujan yang ia pakai beberapa kali terbuka dengan sendirinya tertiup angin maha dahsyat itu. Jas hujan yang ia pakai seakan percuma saja. Jaket parasut di balik jas hujan itu tetap saja basah kuyup dan menembus hingga kaos didalamnya. Ranting-ranting patah berguguran dan terbang mengikuti arah angin. Sesekali ranting yang berdaun menerpa wajah Arthur hingga sedikit menimbulkan rasa perih di wajahnya. Lampu ting yang dirancang khusus menghadang tiupan angin, apinya nampak bergerak gerak hebat. Semakin sempit juga jarak pandang Arthur karena sinar api sudah tidak fokus lagi.

 

Dengan lampu ting di tangan kanan, ia melihat arloji yang ia sematkan ditangan kiri. Jam baru menunjukkan pukul 22.57 menit. Belum ada satu jam ia beristirahat, namun kini ia dipaksa untuk berjalan kembali. Niatnya untuk keluar dari cobaan ini begitu besar. Ia tak mau menyerah sama sekali. Bagaimanapun kerasnya hati Arthur, tak urung benaknya juga sedikit menyesali semua kejadian ini. Dengan menghadapi badai dahsyat sendirian didalam hutan lebat seperti ini, manusia mana yang tidak kecut hatinya. Walau mempunyai fisik sekuat Arthur pun pasti akan merasakan siksaan hebat baik badan maupun mentalnya.

 

Beberapa ratus meter setelah ia mulai lagi melangkahkan kaki dalam hujan badai ini, disisi kiri jalan setapak sama-samar ia melihat sosok manusia di balik rerimbunan pohon. Sosok itu seperti mengawasinya dari tempatnya berdiri. Dengan tetap berjalan di jalurnya, Arthur menajamkan mata di sela pedihnya air hujan yang menghujam untuk memastikan apa yang ia lihat. Sosok itu berdiri beberapa meter jaraknya dari tepi jalan setapak. Arthur tidak seberapa jelas akan bentuk mahluk itu. Dilihat dari perawakan tubuh mahluk itu di balik siluet, Arthur mengira-ngira bahwa mahluk itu tingginya sedikit melebihi tinggi ukuran normal lelaki dewasa. Dengan postur tubuh yang bungkuk, mahluk itu sudah setinggi separuh batang pohon. Apalagi kalau ia berdiri tegak. Dan yang pasti, Arthur yakin bahwa mahluk itu bukan manusia. Mahluk itu bergerak membungkuk-bungkuk perlahan dari pokok pohon ke pokok pohon lainnya mengikuti kemana arah kaki Arthur.

 

Seluruh bulu di badan Arthur meremang. Ia bertanya-tanya, apa atau siapa itu disana. Tapi Arthur tak mempunyai keberanian untuk berteriak sama sekali. Ia hanya melirik saja ke arah siluet itu tanpa berani menengokkan wajah kearahnya. Seperti anjing piaraan, mahluk itu tetap mengiringi perjalanan Arthur hingga beberapa ratus meter tanpa berusaha mendekati Arthur. Hingga saat Arthur kembali melirik ke arah siluet, ia tidak menemukannya lagi. Dengan segala macam pertanyaan Arthur tetap pada langkahnya menyusuri jalan setapak yang seperti tak berujung.

 

 

.

Desember 18, 2008

Jalan Setapak LALI JIWO – Bag 2

Filed under: Horor,Novelette — harlockwords @ 2:37 am
Tags: , , ,

.

JALAN SETAPAK LALIJIWO

Surabaya, 15 Desember 2008 – Harlock 

“…tak akan kubiarkan pergi, bahkan sedikit lelap. Semua ada digenggamanku…”

 

Bagian 2

Arthur terlihat berjalan tergopoh gopoh mengejar waktu agar cepat sampai di Hutan Cemoro Sewu yang masih mungkin untuk dijadikan tempat peristirahatan, bukan di Alas Lali Jiwo yang menakutkan ini. Perutnya menjadi sangat mulas bila mengingat hal itu. Rasa takut dan khawatir benar benar menjajahnya kali ini. Ia yang tak pernah takut apapun, kini benar benar dipaksa tunduk kepada rasa itu.

 

Namun, semakin jauh ia berjalan, ia tak juga menemui hutan yang bernama Cemoro Sewuu. Hanya jalan setapak ituitu saja yang ia lihat. Panik semakin menjalar di pembuluh darahnya. Peluh bercampur keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya. Bajunya semakin basah. Namun ia tak hendak berhenti walau sejenak. Semakin pula ia mempercepat langkahnya.

 

Tibatiba sesuatu hal membuat darahnya mengalir deras hingga kepala. Arthur melihat pokok akar berukuran raksasa yang ia duduki di awal perjalanan saat ia mengetahui bahwa ia sedang sendiri di hutan ini.

 

“ Ya Tuhan…itu..itu akar yang tadi..” Arthur ternganga. Ia melihat bekas tapak kaki dan cetakan pantatnya di pokok akar yang lembab.

“ A..apa ini…? Mana mungkin…? “

“ tiga jam….nggak mungkin…”

 

Arthur jatuh terduduk di lantai hutan yang lembab. Sontak kekuatannya hilang sama sekali. Matahari sudah hilang dan suasana menjadi gelap gulita. Dada Arthur bertambah sesak. Ia yakin ada sesuatu dibalik peristiwa ini. Padahal sudah sekitar tiga jam ia berjalan dan selalu mengikuti jalur jalan setapak yang menurutnya tak menemui percabangan.

 

Ia mulai ingat peringatan temantemannya. Ia merasa sangat menyesal telah sumbar dipintu hutan. Namun sesal pun tak menolongnya untuk keluar dari hutan yang mengerikan ini. Perlahan Arthur mengambil dan menyalakan lampu ting yang ia gantungkan di pipa tas ranselnya. Walau tak begitu terang, cukup buat Arthur untuk melihat sekitar dalam radius satu meter setengah. Ia tolehkan kepalanya ke sekeliling sembari mengangkat lampu tingnya tinggi. Sayupsayup terdengar gemeretak pepohonan yang entah ditiup angin atau bergesekar dengan hewan liar yang melewatinya. Kecut hati Arthur dibuatnya. “ Tempat ini berbahaya…., ” batinnya bicara.

 

Ia pun berkeputusan untuk kembali berjalan setelah meneguk air yang tinggal seberapa dan mengunyah roti bantet yang ia bawa sebagai bekal. Ia packing kembali isi tas ranselnya, lalu ia berdiri dan mulai berjalan sambil membawa lampu yang sinarnya bergoyanggoyang lembut. Kaki yang sedari tadi berjalan sudah mulai melepuh. Walau tenaganya sudah mulai pulih, tak membuat jalannya menjadi tegap. Dengan sedikit terseret, kakinya tetap menyusuri jalan setapak. Kali ini ia perhatikan andai ia melewati sebuah percabangan. Ia tak ingin kembali lagi di “pos” tempat ia beristirahat tadi sore.

 

Lampu ting yang ia tenteng ke depan ia arahkan rendah menerangi jalan setapak itu. Matanya tak lepas dari lantai hutan. Perlahan tapi pasti Arthur menggeser telapak kakinya langkah demi langkah. Hingga saat ini ia begitu yakin bahwa ia tidak menemukan adanya percabangan jalan. Ia tetapkan langkahnya kedepan berharap beberapa menit kemudian ia akan menemukan sederetan pohon cemara yang berada di bagian Alas Cemoro Sewu.

 

Tiba tiba suara tonggeret yang berpesta pora di malam itu berhenti. Suasana jadi hening sekali. Yang terdengar hanya suara langkah Arthur yang terseret seret menggesek lantai hutan. Arthur yang berusaha menahan capai dan kantuknya, tidak merasakan perubahan itu. ia tetap saja berkonsentrasi pada jalan setapak yang dilewatinya.

 

Beberapa lama kemudian, dari samping kiri Arthur terdengar suara menggesek keras. Saking terkejutnya, konsentrasi Arthur buyar seketika. Mendadak ia menghentikan jalannya. Lampu ting yang ditentengnya diangkat setinggi mukanya ke arah kiri. Lengannya bergerak kekiri dan kekanan mencaricari asal suara aneh tersebut. ia tidak melihat apa apa. Semuanya terlihat gelap. Yang terlihat hanya pergerakan bayangan pohon oleh lampu ting Arthur. Selebihnya hanya kelam. Arthur keheranan. Ia berfikir, mungkin hanya halusinasi saja. Padahal suara malam sedikitpun tak terdengar saat itu, dan Arthur tetap tak menyadarinya.

 

Setelah yakin tak melihat apapun, Arthur kembali menyeret langkah kakinya.Belum sampai seratus langkah, suara gesekan itu kembali terdengar. Kini suara itu datang dari arah kanan. Lebih dekat dan lebih keras dari yang pertama. Kembali Arthur terkejut dan menolehkan seluruh badannya ke arah datangnya suara. Lampu tingnya digerakkan sedikit cepat. Tetap saja hanya hitam kelam yang ia temui, tidak nampak sesuatu apapun. Bahkan diatas pohonpohon rimbun itu pun tak nampak sesuatu yang menarik perhatiannya. Agak lama Arthur terdiam melihat ke arah itu. Jantungnya berdetak kencang.

 

“ Hoi…siapa disitu? Ada orang kah? “ teriak Arthur pada kegelapan malam dan pepohonan

 

Namun teriakannya hanya dijawab oleh desahan malam yang menerpa pepohonan. Tak ada suara lain. Tetap saja hening seperti tadi. Dahi Arthur mengernyit sebelum memutuskan untuk berjalan kembali. Ia pun kembali menyeret langkah kakinya. Setelah beberapa ratus langkah, Arthur mendengar suara seperti desahan nafas di balik pepohonan yang diselimuti gelapnya malam. Ia menajamkan pendengaran untuk memastikan suara yang ia dengar. Arthur mendengar suara dengusan nafas yang berat, dan ia pastikan bahwa suara itu bukan berasal dari suara nafas manusia. Ia juga mendengar bahwa suara seretan langkah kaki bukan hanya berasal dari langkah kakinya sendiri. Ada suara seretan langkah kaki lain di balik rerimbunan pohon di sebelah kanan tubuhnya, namun suara itu lebih berat dan lebih keras.

 

Arthur yakin bahwa ada sesuatu yang sedang mengincar dirinya. Mengetahui hal itu, Arthur mempercepat langkah kakinya. Ia tak peduli bahwa kakinya telah pegal dan lecet. Ia tetap saja menggenjot langkahnya menjauh dari area itu. Namun, semakin cepat ia melangkah, suara dengusan nafas dan langkah yang berat itu tetap mengikuti seiring dengan lari Arthur. Jarak Arthur dengan suara itu pun tidak bertambah jauh maupun bertambah dekat.

 

Arthur menjadi semakin panik. Akhirnya ia berkeputusan untuk menghadapi. Ia hentikan langkah dengan tiba tiba. Dan dengan cepat pula ia membalikkan badan menghadap ke arah yang ia yakini dimana suara aneh itu berasal. Cepat cepat ia acungkan lampu tingnya ke depan, agak lebih tinggi dari dagu. Ia menunggu mahluk yang mengikutinya untuk mendekat. Ia hanya takut bila mahluk itu adalah harimau yang sedang mencari camilan buat perutnya yang sedikit masuk angin.

 

Namun, setelah ia berhenti tiba tiba, suara yang mengikutinya tadi mendadak lenyap. Ia tak mendengar apapun, sepi. Bahkan sesuatu yang mendekat pun tidak ada. Tidak ada pergerakan apapun di baik kerimbunan pohon. Kembali dahinya mengernyit.

 

“ Apaapaan ini? Kemana suara tadi? “ Arthur membatin. Ia tetap menunggu sesuatu itu menyergapnya. Ia sudah pasrah apabila ada hewan buas yang menyerang. Paling tidak ia akan mempertahankan hidup dahulu sebelum nyawanya disambar mahluk itu.

 

Namun semuanya tak terjadi. Hanya ia sendiri yang berdiri disitu. Tanpa pikir panjang lagi, ia melanjutkan perjalanan. Benaknya mengatakan bahwa semua itu hanyalah ilusi saja. Ia merasa bahwa lemah kondisi lah yang membuat ia jadi berfikir yang tidak nyata. Ia tetap melangkahkan kaki di kegelapan malam.

 

Arthur melirik jam tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul 21.45 menit. Berarti ia sudah berjalan selama lebih lima jam sejak ia sadar bahwa dirinya tersesat. Waktu yang cukup lama untuk membuat kakinya bengkak dan melepuh.

 

Beberapa menit kemudian ia melihat sesuatu hal yang membuat dirinya hampir pingsan. Badannya serasa tak bertulang lagi. Ia menggelosor kebawah dan duduk bersimpuh berlantaikan tanah lembab. Ia melihat pokok akar dimana ia tadi duduk memulai perjalannya. Bahkan ia melihat sebatang korek api bekas yang ia pakai untuk menyalakan lampu ting sesaat sebelum malam menjelang tadi.

 

“ Ya Tuhanku Yang Maha Agung….” ujar Arthur sambil menundukkan kepala.

“ Apa yang terjadi dengan ku, Ya Tuhan…”

 

Tetesan air mata mulai membasahi pipi Arthur. Telapak tangan menutupi seluruh wajahnya yang basah oleh keringat. Ia merasa tak sanggup lagi untuk berdiri, apalagi berjalan. Dengan merangkak ia mendekati pokok akar itu. Ia duduk di tanah dan bersandar pada sela sela akar yang berukuran raksasa.

 

“ Aku tak sanggup lagi berjalan. Kakiku sudah bengkak dan lecet…biarlah aku tidur disini saja…” batin Arthur bicara.

 

Arthur mengeluarkan sisa bekal yang ia bawa lalu memakannya sedikit. Ia dorong makanan yang tak seberapa itu dengan air seteguk. Sedikit harapan baginya bahwa besok pagi bila fisik dan psikisnya sudah pulih, ia pasti akan menemukan jalan yang sebenarnya. Ia tak berpikir untuk malam ini. Sama sekali. Yang ia inginkan adalah tidur. Dengan atau tanpa tenda.

 

Arthur menyandarkan kepala di batang pohon raksasa menghadap kearah jalan setapak. Arthur heran. Malam ini bahkan angin pun tak bergerak sama sekali. Tak ada suara serangga malam, tak ada suara gemerisik daun. Benarbenar sepi. Ia menengadahkan kepala. Bahkan ia tak melihat bintang ataupun mendung. Sesuatu hal yang janggal bila kita berada di lereng sebuah gunung. Arthur mulai merasa bahwa ia sedang dalam situasi yang tidak biasa.

 

 

 

 

 

 

.

Laman Berikutnya »

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.