‘
BAB XVII
Pagi itu Riham sendiri duduk di bale-bale bambu di teras rumah. Pakde Darno tidak nampak disana. Hanya secangkir kopi panas dan beberapa buah kue yang diletakkan di sebuah piring kecil menemani Riham saat ini. Angin pagi yang segar behembus dari arah hutan pinus di lereng gunung membelai lembut wajahnya. Daun-daun di pokok pepohonan Desa Njamus yang masih asri dan jauh dari polusi bergoyang lembut. Sinar matahari yang hangat sedikit mengimbangi hawa dingin khas pegunungan yang sedikit banyak terasa menggigit tulangnya. Riham yang tampak menyandarkan punggung di tembok rumah menyundut rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam. Suasana pagi yang menyegarkan dan membuat setiap orang merasa nyaman bila merasakannya, tak membuat Riham menikmati keadaan alam desa yang menenangkan ini. Pandangannya menerawang jauh, sedang pikirannya berputar-putar. Sesekali ia menegok ke arah sebelah kiri halaman, ke sebuah pohon jambu yang semalam menjadi tempat dimana ia merasakan kembali teror semenjak ia berangkat ke desa ini. Ia bergidik mengingat kejadian semalam, saat seorang wanita yang jelas bukan manusia datang menghampirinya dan memberinya sebuah pesan yang sampai saat ini ia belum mengerti maksudnya. Sudah kali ketiga ia mengalaminya. Tiga kali dalam dua hari kehadirannya di Njamus. Segala kejadian aneh yang ia alami menguatkan dugaannya akan sebuah masalah yang belum terselesaikan yang terjadi disini. Masalah yang menjadi masih misteri dan mengganggu segenap jiwa raganya.
” Benar-benar aneh..” gumam Riham. Riham menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu ia hembuskan kembali ke udara bebas. Asap menggulung-gulung di depannya. Ia pandangi asap itu hingga hilang terbawa angin. ” Pasti ada sesuatu yang ndak beres disini, aku yakin sekali. Tiga kali, gila! Bisa-bisa otakku ndak waras lama-lama kalau semua ini terjadi terus-terusan, ” kembali Riham menggumam.
” Apa kematian bude ada hubungannya dengan semua ini? Apa maksud bude mendatangiku lewat mimpi? Apa arti teriakan minta tolongnya? Sepertinya aku harus mencari tahu kebenaran yang terjadi di sini, ”
Cangkir kopi yang terletak disebelah lutut diambilnya. Seteguk kopi yang masih megeluarkan asap tipis dihirupnya perlahan. Lalu ia kembali menghisap rokok yang dia selipkan diantara dua jarinya dan menghembuskan kuat-kuat. Ia mendesah.
” Aku sudah tak kuat lagi. Aku harus mencari kebenaran di balik semuanya, ” lebih dalam lagi ia menghisap rokoknya.
” Sedang wanita itu. Sudah dua kali ia memintaku memahami isyaratnya. Hhh, apa artinya semua ini…”
Rokok yang telah habis ia tekan dan ia buang di asbak berbentuk ukiran ular dengan mulut menganga berbahan kayu milik Pakde Darno. Sisa kopi diteguknya. Riham berdiri hendak merapikan hidangannya.
” Lebih baik aku ke rumah lurah saja sekarang, mumpung masih pagi. Siang sedikit ia pasti sudah sibuk, ”
Setelah ia meletakkan hidangannya di meja makan di ruangan tengah, ia beranjak menuju halaman untuk segera menuju rumah lurah yang hanya selisih beberapa gang saja dari tempat tinggal Pakde Darno. Setelah menutup pagar rumah, perlahan ia berjalan menyusuri jalan desa. Walaupun langkahnya pasti, namun pandangan Riham masih tetap menerawang. Sesekali ia sedikit kaget ketika salah-satu penduduk kampung menyapa. Namun ia masih bisa menunjukkan wajah sopan pada mereka dan balas menyapa mereka. Langkah kakinya agak terseret enggan. Pikiran yang berat sedikit banyak mempengaruhi kondisi fisik, apalagi didukung dengan waktu tidur yang berkurang. Tapi ia tetap saja melangkahkan kakinya menuju rumah kepala desa setempat, dimana ia seharusnya melaporkan kehadirannya sebagai tamu di desa kecil ini.
Beberapa lama menyusuri jalanan desa, Riham berpapasan dengan seorang wanita yang sedang berjalan keluar dari halaman rumahnya bersama-sama beberapa wanita lain yang dengan segera memanggil RIham dengan ragu-ragu. Gadis ini berperawakan agak sedikit lebih tinggi dari kebanyakan tinggi badan gadis-gadis yang disampingnya. Rambutnya panjang sebahu di biarkan terurai dengan bando kecil sebagai hiasan menghalangi poninya terjatuh. Kulitnya sedikit gelap, namun tak menyembunyikan raut wajah yang manis, teramat manis malah bagi Riham. Gadis itu memakai setelan kasual khas warga kampung yang tak terlalu mau ribet dengan dandanannya, kaos t-shirt warna hijau muda sedikit pudar dengan rok panjang dengan warna krem muda. Setelah memanggil Riham, gadis itu melempar senyum kepadanya yang diikuti anggukan ramah teman-temannya kepada Riham. Riham tertegun, entah karena ia memikirkan siapa dia atau terpana dengan kecantikan wajah yang terpampang jelas di depan matanya.
” Riham, Riham kan? ” sahut gadis itu.
” He, mm..” Riham menggumam sambil tetap menatap gadis itu. Ia sengaja mengulur waktu untuk mengingat-ingat siapa yang menyapanya ini. Bayang-bayang samar di ingatannya jatuh pada sosok gadis kecil kurus yang biasa ia ajak mencari belut di pematang sawah, dengan rambut merah tersengat matahari, berlarian dengan kaki yang tak pernah bersih dari lumpur. Rasmi. Mungkinkah gadis cantik ini dia….Benak Riham berjalan menyusuri area memori masa kecilnya.
” Rasmi, ham. Ingat tidak? ” gadis itu mencoba mengingatkan dirinya.
” Rasmi…ah, yang benar? Kamukah ini? ” mulut Riham meluncur tanpa terkendali, matanya menatap tajam pada Rasmi tak percaya. Gadis kecil kumal yang dulu suka bergaul dengan teman laki-lakinya kini telah tumbuh menjadi gadis yang kecantikannya begitu memukau Riham, hingga Riham merasa malu karena keterkejutannya.
” Kenapa ham? Mukamu jadi merah gitu? ” Rasmi tersenyum, manis sekali.
Riham malu sekali. ia berusaha mengalihkan arah pembicaraan, ” Ah, bagaimana kabarmu ras? Lama sekali, sejak kita lulus SD, kita ndak pernah ketemu lagi ”
” Mbak Ras, ” salah satu teman Rasmi menyela pembicaraan mereka, ia melanjutkan, ” Kami pamit dulu, nanti sore kita tunggu di rumah Rini, ”
” O ya, nanti sore saya langsung kesana, ” jawab Rasmi.
” Ayo mbak, jalan dulu. Monggo mas, ” mereka mengangguk halus kepada Riham dan Rasmi sambil tersenyum kecil yang dibalas dengan sopan oleh keduanya. Teman-teman Rasmi menghilang di ujung tikungan jalan, dan mereka berdua melanjutkan lagi perbincangan yang tersela tadi,
” Kamu jadi beda gini Ras, ” Riham membuka pembicaraan, yang dibalas Rasmi dengan senyuman.
” Apanya, Ham? Kamu ada-ada saja. Omong-omong, apa yang kamu kerjakan sekarang? ” tanya Rasmi.
” Hmm, sekarang aku lagi menatapmu, ” goda Riham.
” Hahaha, ” Rasmi tertawa, ” Aku tahu. Maksudku, kegiatan sehari-hari kamu apa, begitu, ”
” Yaah..usaha kecil-kecilan, Ras. Eh, omong-omong, aku mau ke tempat lurah, nanti keburu berangkat ke kantor, ” Riham teringat kembali akan tujuannya.
” O, mau ke tempat lurah? Aku antar? ” Rasmi menawarkan diri untuk mengantar.
” Apa tidak merepotkan kamu? ”
” Aku sedang tidak ada kerjaan kok sekarang, jadi ya ndak apa-apa, ” jawab Rasmi
” Benar? Kalau begitu, aku senang saja. Ditemani gadis cantik ini…”
” Kamu jadi perayu ulung begini Ham? ” Rasmi menjawab pernyataan Riham sambil tersenyum, ” Coba kalau kau melihat aku berlepotan lumpur seperti waktu kita kecil dulu, apa yang bakal kau katakan? ”
Rasmi tertawa keras diikuti oleh Riham. Mereka berdua berjalan beriringan menyusuri tepi jalan desa, sesekali terdengar gurauan mereka yang diselingi gelak tawa yang renyah sekali. Maklum, mereka bisa dikatakan sebagai sahabat karib waktu mereka masih kanak-kanak, bahkan mereka belum pernah bertemu kembali sejak belasan tahun lampau.
” Kemana saja kamu Ras, aku ndak pernah lagi melihatmu waktu aku sambang pakde? ”
” Banyak Ham. Aku masih disini sampai lulus SMA, terus aku melanjutkan kuliah di Solo, ” jawab Rasmi.
” Di Universitas Negeri itu? ”
” Ndak. Aku ngambil Akademi keahlian disana. Akhirnya aku juga sempat bekerja di Solo juga beberapa tahun, dan akhirnya aku kembali kesini, ” Rasmi bercerita panjang lebar.
” Kenapa? Bukannya enak sudah bekerja disana? ” Riham bertanya pada Rasmi.
” Hmm…ada sedikit masalah saja, ” jawab Rasmi singkat.
” O, begitu ya….”
” Kapan-kapan aku ceritakan padamu, jangan sekarang, ”
Sejenak riham berhenti, lalu bertanya, ” Kamu sudah berkeluarga, Ras? ”
” Belum….” Rasmi diam setelah menjawab pertanyaan Riham, lama sekali. Hingga Riham mengalihkan pembicaraan.
” Sekarang kegiatan kamu apa? ” Tanya Riham.
” Masih belum ada. Masih menenangkan diri, Ham, ” jawab Rasmi sambil tersenyum.
” Baiklah. Kalau bisa jangan terlalu berlarut-larut. Jalan kita masih panjang, Ras, ”
” Yah, doakan saja. ” Rasmi tersenyum sambil mengerling manja pada Riham. Riham tertegun, entah apa maksud Rasmi dengan kerlingannya itu. Yang pasti Riham cukup senang menikmati wajah manis yang kini tengah menemani perjalanannya.
Tak berapa lama mereka berjalan, sampailah mereka berdua di depan pintu pagar sebuah rumah kecil yang terletak di tengah-tengah perkampungan. Rumah itu tak begitu besar, namun modelnya sedikit agak lain dari rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Rumah iu bergaya modern, khas orang kota dengan dua lantai yang nampak jelas lebih tinggi dari rumah-rumah kayu khas desa di samping kiri dan kanannya. Halamannya tak seberapa luas dan tak terlihat tanaman palawija. Hanya beberapa tanaman hias tersebar di beberapa tempat serta dua batang pohon yang daunnya menaungi hampir seluruh permukaan halaman, namun terlihat juga dua buah mobil keluaran terbaru teronggok di ujung sebelah luar halaman yang tanamannya ditata rapi itu. Sungguh sebuah penataan khas orang kota.
Ketika Riham dan Rasmi akan mengetuk pintu pagar yang berukuran lebih tinggi dari tinggi badan mereka, seseorang nampak keluar dari pintu utama rumah. Seorang laki-laki yang berumur sekitar lima puluhan dengan tinggi badan sedang dan perut sedikit tambun. Rambutnya yang agak berwarna kelabu dan disisir klimis kebelakang, memperlihatkan lebarnya dahi. Ia memakai sejenis seragam dinas berbahan katun berwarna coklat khas pegawai negeri. Ia nampak tertegun menatap keluar dimana ia melihat dua orang yang akan bertamu di kediamannya.
” Selamat pagi, pak lurah, ” mereka berdua memberi salam sedikit berteriak.
” Ya, selamat pagi. O, dik Rasmi. Mari masuk, buka saja, ndak dikunci, saya masuk ke dalam dulu ” jawab pak lurah.
” Baik, pak ” jawab Rasmi.
Setelah membuka pagar besi itu, mereka berdua masuk berjalan menyusuri jalan setapak yang terbuat dari batu kerikil poles yang ditata sangat rapi yang menghubungkan pintu pagar dan undakan menuju teras rumah. Mereka mengambil tempat di sebuah table set dari kayu yang berbentuk ukiran etnis yang terletak di teras yang lumayan lebar itu. Sejenak mereka terdiam sambil menunggu pak lurah keluar dari rumah induk. Tak berapa lama keluarlah pak lurah yang mereka tunggu.
” Ada perlu apa, Dik Rasmi? ” tanya pak lurah sembari mengambil tempat duduknya.
” Begini pak, saya yang berkepentingan kemari, ” Riham menyahut pertanyaan pak lurah sebelum Rasmi membuka mulutnya. Lalu ia melanjutkan sambil mengulurkan tangan kanannya, ” Saya Riham, ponakan Pak Darno, ”
” O, ya. Mahmudi. Saya sudah lihat adik kemarin waktu tahlil. ya, ya, ” sambil tersenyum pak lurah membalas jabat tangan Riham dengan hangat.
” Maaf, Pak. Saya baru bisa sowan hari ini, soalnya kemarin masih sibuk sekali, ” ujar Riham.
” O, ya. Saya mengerti. Memang sibuk sekali pada saat-saat seperti ini. Masih banyakkah teman-teman Pak Darno yang bertamu sampai saat ini, Dik Riham? ” pak Lurah Mahmudi bertanya pada Riham.
” Yah, ada beberapa, pak lurah, ”
” Ya, semoga itu cukup untuk menghibur kesedihan Pak Darno. Sejak meninggalnya Bu Darno, saya masih belum pernah melihat Pak Darno keluar beraktifitas. Bagaimana keadaan beliau, dik? ”
” Pakde hanya sebentar-sebentar saja keluar rumah, pak. Namun, pakde cukup kuat menghadapi cobaan ini, pak. Beliau baik-baik saja. Hanya saja, beliau masih belum ingin keluar rumah, hanya duduk-duduk saja di teras, ”
” Yah, syukurlah kalau Pak Darno baik-baik saja. Terima kasih Dik Riham mau menyempatkan waktu datang ke tempat kami, ”
” Terima kasih kembali, pak. Semua memang sudah seharusnya, ” jawab Riham.
Tiba-tiba dari arah dalam rumah, seorang gadis tanggung dengan usia kira-kira lima belas hingga enam belas tahunan keluar dan berjalan ke arah tempat mereka berbincang. Tingginya sekitar seratus enam puluhan lebih dengan ukuran tubuh yang semampai. Kulitnya bersih terutama di sekitar wajah yang bersemu merah segar. Sempat juga Riham terpana akan kecantikannya. Rambutnya yang dibiarkan terurai sepunggung dengan hiasan jepit kecil merah muda untuk menahan poninya berkibar-kibar seiring gerakan pinggulnya. Ia berjalan menuju pak lurah yang duduk di depan Riham.
” Pak, aku berangkat sekarang. Bekalnya sudah disiapkan ibu. Bapak titip apa? ” tanyanya sambil sedikit berbisik pada pak lurah.
” Sebentar to nak, jangan buru-buru. Tunggu bapak dulu, kan bapak masih ada tamu, ” jawab Pak Lurah Mahmudi sambil tersenyum padanya.
” Keburu siang pak…” sahutnya kembali.
” Sebentar, kamu belum berkenalan sama Mas Riham ini. Ini Nastiti, Dik Riham, anak saya. Ayo Nas, beri salam Mas Riham, ”
” Nastiti, mas, ” Nastiti mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Lalu ia melanjutkan, ” Maaf mas, saya buru-buru sekali, teman saya sudah menunggu di ujung desa, mau belanja ke kota. Lain kali mungkin…”
” O, silahkan. Lain kali kita bisa berbincang lagi, ” jawab Riham.
” Pak, ndak ada titipan to? Aku berangkat sekarang, ” sahut Nastiti yang dijawab anggukan oleh pak lurah. Lalu Nastiti berpamitan singkat pada Riham dan Rasmi, dan menghilang di balik pintu utama.
” Maafkan anak semata wayang saya, Dik Riham. Biasa, putri tunggal, manjanya minta ampun, ” ujar pak lurah sambil tertawa lepas.
” Biasa pak, ndak apa-apa, ”
Sebentar kemudian mereka terlibat dalam obrolan dengan tema yang bermacam-macam. Percakapan mereka begitu hangat, hingga sesekali terdengar tawa kecil keluar dari mulut salah satu dari mereka. Kehangatan sambutan pak lurah yang berlaku sebagai tuan rumah yang baik benar-benar merasuk di di hati Riham, hingga ia lupa bahwa hari sudah beranjak siang, dan pak lurah pasti akan sibuk dengan tugas harian di kantor desa. Lalu mereka berdua pamit. Pak lurah mengantarkan keduanya hingga di depan pagar halaman. Riham dan Rasmi mengangguk ramah pada beliau yang berpesan untuk sewaktu-waktu datang berkunjung kerumahnya kembali.
” Beliau ramah sekali, Ras, ” Riham membuka pembicaraan setelah mereka berdua kembali berjalan menyusuri jalan desa.
” Yah, tidak banyak orang angkuh di sini ham. Masa kau lupa? Mungkin hanya beberapa saja, ” jawab Rasmi yang dilanjutkan dengan tertawanya yang renyah. Meskipun dengan penampilan yang anggun sekali menurut Riham, Rasmi tetap saja ceplas-ceplos dan tegas seperti waktu ia kanak-kanak dulu. Riham jadi semakin nyaman bila berbincang dengannya, seperti mereka tak pernah berpisah dari dahulu.
” Ham, ” panggil Rasmi ketika mereka berdua telah sampai di depan pagar rumah Rasmi. Ia melanjutkan, ” Sudah sampai rumah, kita berpisah disini, ”
”Iya Ras. Aku juga ada janji dengan Mas Tono siang ini. Ia akan mengantarkan ku ke kota, ada beberapa keperluan yang harus kubeli, ” ujar Riham.
” Kalau begitu, silahkan. Kalau sedang longgar, mampir ke sini Ham, kita lanjutkan ngobrol, ”
” Wah, Ras. Sebenarnya aku sedang bingung, ” Riham berkata sedikit menggumam.
” Apa yang kau bingungkan? ” tanya Rasmi.
” Siapa yang ndak mau diundang gadis tomboy yang jadi feminin dan manis seperti ini. Tapi aku takut digampar sama jagoan desa yang jadi tunanganmu…bisa mbendul abuh (benjol bengkak) mata ini, takut ah! ” jawab Riham menggoda Rasmi.
” O, Dasar! ” Rasmi menggerakkan tangan seakan-akan memukul Riham sambil tertawa. Riham pun bergerak seakan-akan menelak pukulan Rasmi. Tawa mereka terdengar keras sekali di sepanjang jalan desa.
” Yah, Ras. Besok sore sepertinya aku ndak banyak pekerjaan. Aku mungkin akan berjalan-jalan sejenak melihat perkebunan, ” ujar Riham.
” Hmm…besok sore..mungkin aku bisa mengantar, ”
” kebetulan, Mas Tono juga sedang sibuk dengan kegiatannya di sawah. Apa ndak merepotkanmu Ras? Atau ’merepotkan’ tunanganmu….” tanya Riham. Matanya mengerling genit pada Rasmi.
” hahaha, tunanganku ndak disini Ham. Ndak apa-apa, besok Insya Allah kalau ndak ada halangan, aku antar kamu, ” jawab Rasmi.
” Baik kalau begitu, aku pamit dulu Ras, ”
” Hati-hati, Ham, ”
Mereka berdua berpisah di depan rumah Rasmi, di tepi jalan desa yang lengang.