Harlockwords’s Blog – …Story came Out From My Mind…….

Januari 26, 2009

Petaka Lereng Lawu – BAB XVII

Filed under: Horor,Novel,Petaka Lereng Lawu — harlockwords @ 5:59 am
Tags: , , , , , , , ,

BAB XVII

Pagi itu Riham sendiri duduk di bale-bale bambu di teras rumah. Pakde Darno tidak nampak disana. Hanya secangkir kopi panas dan beberapa buah kue yang diletakkan di sebuah piring kecil menemani Riham saat ini. Angin pagi yang segar behembus dari arah hutan pinus di lereng gunung membelai lembut wajahnya. Daun-daun di pokok pepohonan Desa Njamus yang masih asri dan jauh dari polusi bergoyang lembut. Sinar matahari yang hangat sedikit mengimbangi hawa dingin khas pegunungan yang sedikit banyak terasa menggigit tulangnya. Riham yang tampak menyandarkan punggung di tembok rumah menyundut rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam. Suasana pagi yang menyegarkan dan membuat setiap orang merasa nyaman bila merasakannya, tak membuat Riham menikmati keadaan alam desa yang menenangkan ini. Pandangannya menerawang jauh, sedang pikirannya berputar-putar. Sesekali ia menegok ke arah sebelah kiri halaman, ke sebuah pohon jambu yang semalam menjadi tempat dimana ia merasakan kembali teror semenjak ia berangkat ke desa ini. Ia bergidik mengingat kejadian semalam, saat seorang wanita yang jelas bukan manusia datang menghampirinya dan memberinya sebuah pesan yang sampai saat ini ia belum mengerti maksudnya. Sudah kali ketiga ia mengalaminya. Tiga kali dalam dua hari kehadirannya di Njamus. Segala kejadian aneh yang ia alami menguatkan dugaannya akan sebuah masalah yang belum terselesaikan yang terjadi disini. Masalah yang menjadi masih misteri dan mengganggu segenap jiwa raganya.

” Benar-benar aneh..” gumam Riham. Riham menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu ia hembuskan kembali ke udara bebas. Asap menggulung-gulung di depannya. Ia pandangi asap itu hingga hilang terbawa angin. ” Pasti ada sesuatu yang ndak beres disini, aku yakin sekali. Tiga kali, gila! Bisa-bisa otakku ndak waras lama-lama kalau semua ini terjadi terus-terusan, ” kembali Riham menggumam.
” Apa kematian bude ada hubungannya dengan semua ini? Apa maksud bude mendatangiku lewat mimpi? Apa arti teriakan minta tolongnya? Sepertinya aku harus mencari tahu kebenaran yang terjadi di sini, ”

Cangkir kopi yang terletak disebelah lutut diambilnya. Seteguk kopi yang masih megeluarkan asap tipis dihirupnya perlahan. Lalu ia kembali menghisap rokok yang dia selipkan diantara dua jarinya dan menghembuskan kuat-kuat. Ia mendesah.

” Aku sudah tak kuat lagi. Aku harus mencari kebenaran di balik semuanya, ” lebih dalam lagi ia menghisap rokoknya.
” Sedang wanita itu. Sudah dua kali ia memintaku memahami isyaratnya. Hhh, apa artinya semua ini…”

Rokok yang telah habis ia tekan dan ia buang di asbak berbentuk ukiran ular dengan mulut menganga berbahan kayu milik Pakde Darno. Sisa kopi diteguknya. Riham berdiri hendak merapikan hidangannya.

” Lebih baik aku ke rumah lurah saja sekarang, mumpung masih pagi. Siang sedikit ia pasti sudah sibuk, ”

Setelah ia meletakkan hidangannya di meja makan di ruangan tengah, ia beranjak menuju halaman untuk segera menuju rumah lurah yang hanya selisih beberapa gang saja dari tempat tinggal Pakde Darno. Setelah menutup pagar rumah, perlahan ia berjalan menyusuri jalan desa. Walaupun langkahnya pasti, namun pandangan Riham masih tetap menerawang. Sesekali ia sedikit kaget ketika salah-satu penduduk kampung menyapa. Namun ia masih bisa menunjukkan wajah sopan pada mereka dan balas menyapa mereka. Langkah kakinya agak terseret enggan. Pikiran yang berat sedikit banyak mempengaruhi kondisi fisik, apalagi didukung dengan waktu tidur yang berkurang. Tapi ia tetap saja melangkahkan kakinya menuju rumah kepala desa setempat, dimana ia seharusnya melaporkan kehadirannya sebagai tamu di desa kecil ini.

Beberapa lama menyusuri jalanan desa, Riham berpapasan dengan seorang wanita yang sedang berjalan keluar dari halaman rumahnya bersama-sama beberapa wanita lain yang dengan segera memanggil RIham dengan ragu-ragu. Gadis ini berperawakan agak sedikit lebih tinggi dari kebanyakan tinggi badan gadis-gadis yang disampingnya. Rambutnya panjang sebahu di biarkan terurai dengan bando kecil sebagai hiasan menghalangi poninya terjatuh. Kulitnya sedikit gelap, namun tak menyembunyikan raut wajah yang manis, teramat manis malah bagi Riham. Gadis itu memakai setelan kasual khas warga kampung yang tak terlalu mau ribet dengan dandanannya, kaos t-shirt warna hijau muda sedikit pudar dengan rok panjang dengan warna krem muda. Setelah memanggil Riham, gadis itu melempar senyum kepadanya yang diikuti anggukan ramah teman-temannya kepada Riham. Riham tertegun, entah karena ia memikirkan siapa dia atau terpana dengan kecantikan wajah yang terpampang jelas di depan matanya.

” Riham, Riham kan? ” sahut gadis itu.
” He, mm..” Riham menggumam sambil tetap menatap gadis itu. Ia sengaja mengulur waktu untuk mengingat-ingat siapa yang menyapanya ini. Bayang-bayang samar di ingatannya jatuh pada sosok gadis kecil kurus yang biasa ia ajak mencari belut di pematang sawah, dengan rambut merah tersengat matahari, berlarian dengan kaki yang tak pernah bersih dari lumpur. Rasmi. Mungkinkah gadis cantik ini dia….Benak Riham berjalan menyusuri area memori masa kecilnya.
” Rasmi, ham. Ingat tidak? ” gadis itu mencoba mengingatkan dirinya.
” Rasmi…ah, yang benar? Kamukah ini? ” mulut Riham meluncur tanpa terkendali, matanya menatap tajam pada Rasmi tak percaya. Gadis kecil kumal yang dulu suka bergaul dengan teman laki-lakinya kini telah tumbuh menjadi gadis yang kecantikannya begitu memukau Riham, hingga Riham merasa malu karena keterkejutannya.
” Kenapa ham? Mukamu jadi merah gitu? ” Rasmi tersenyum, manis sekali.
Riham malu sekali. ia berusaha mengalihkan arah pembicaraan, ” Ah, bagaimana kabarmu ras? Lama sekali, sejak kita lulus SD, kita ndak pernah ketemu lagi ”
” Mbak Ras, ” salah satu teman Rasmi menyela pembicaraan mereka, ia melanjutkan, ” Kami pamit dulu, nanti sore kita tunggu di rumah Rini, ”
” O ya, nanti sore saya langsung kesana, ” jawab Rasmi.
” Ayo mbak, jalan dulu. Monggo mas, ” mereka mengangguk halus kepada Riham dan Rasmi sambil tersenyum kecil yang dibalas dengan sopan oleh keduanya. Teman-teman Rasmi menghilang di ujung tikungan jalan, dan mereka berdua melanjutkan lagi perbincangan yang tersela tadi,
” Kamu jadi beda gini Ras, ” Riham membuka pembicaraan, yang dibalas Rasmi dengan senyuman.
” Apanya, Ham? Kamu ada-ada saja. Omong-omong, apa yang kamu kerjakan sekarang? ” tanya Rasmi.
” Hmm, sekarang aku lagi menatapmu, ” goda Riham.
” Hahaha, ” Rasmi tertawa, ” Aku tahu. Maksudku, kegiatan sehari-hari kamu apa, begitu, ”
” Yaah..usaha kecil-kecilan, Ras. Eh, omong-omong, aku mau ke tempat lurah, nanti keburu berangkat ke kantor, ” Riham teringat kembali akan tujuannya.
” O, mau ke tempat lurah? Aku antar? ” Rasmi menawarkan diri untuk mengantar.
” Apa tidak merepotkan kamu? ”
” Aku sedang tidak ada kerjaan kok sekarang, jadi ya ndak apa-apa, ” jawab Rasmi
” Benar? Kalau begitu, aku senang saja. Ditemani gadis cantik ini…”
” Kamu jadi perayu ulung begini Ham? ” Rasmi menjawab pernyataan Riham sambil tersenyum, ” Coba kalau kau melihat aku berlepotan lumpur seperti waktu kita kecil dulu, apa yang bakal kau katakan? ”

Rasmi tertawa keras diikuti oleh Riham. Mereka berdua berjalan beriringan menyusuri tepi jalan desa, sesekali terdengar gurauan mereka yang diselingi gelak tawa yang renyah sekali. Maklum, mereka bisa dikatakan sebagai sahabat karib waktu mereka masih kanak-kanak, bahkan mereka belum pernah bertemu kembali sejak belasan tahun lampau.

” Kemana saja kamu Ras, aku ndak pernah lagi melihatmu waktu aku sambang pakde? ”
” Banyak Ham. Aku masih disini sampai lulus SMA, terus aku melanjutkan kuliah di Solo, ” jawab Rasmi.
” Di Universitas Negeri itu? ”
” Ndak. Aku ngambil Akademi keahlian disana. Akhirnya aku juga sempat bekerja di Solo juga beberapa tahun, dan akhirnya aku kembali kesini, ” Rasmi bercerita panjang lebar.
” Kenapa? Bukannya enak sudah bekerja disana? ” Riham bertanya pada Rasmi.
” Hmm…ada sedikit masalah saja, ” jawab Rasmi singkat.
” O, begitu ya….”
” Kapan-kapan aku ceritakan padamu, jangan sekarang, ”
Sejenak riham berhenti, lalu bertanya, ” Kamu sudah berkeluarga, Ras? ”
” Belum….” Rasmi diam setelah menjawab pertanyaan Riham, lama sekali. Hingga Riham mengalihkan pembicaraan.
” Sekarang kegiatan kamu apa? ” Tanya Riham.
” Masih belum ada. Masih menenangkan diri, Ham, ” jawab Rasmi sambil tersenyum.
” Baiklah. Kalau bisa jangan terlalu berlarut-larut. Jalan kita masih panjang, Ras, ”
” Yah, doakan saja. ” Rasmi tersenyum sambil mengerling manja pada Riham. Riham tertegun, entah apa maksud Rasmi dengan kerlingannya itu. Yang pasti Riham cukup senang menikmati wajah manis yang kini tengah menemani perjalanannya.

Tak berapa lama mereka berjalan, sampailah mereka berdua di depan pintu pagar sebuah rumah kecil yang terletak di tengah-tengah perkampungan. Rumah itu tak begitu besar, namun modelnya sedikit agak lain dari rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Rumah iu bergaya modern, khas orang kota dengan dua lantai yang nampak jelas lebih tinggi dari rumah-rumah kayu khas desa di samping kiri dan kanannya. Halamannya tak seberapa luas dan tak terlihat tanaman palawija. Hanya beberapa tanaman hias tersebar di beberapa tempat serta dua batang pohon yang daunnya menaungi hampir seluruh permukaan halaman, namun terlihat juga dua buah mobil keluaran terbaru teronggok di ujung sebelah luar halaman yang tanamannya ditata rapi itu. Sungguh sebuah penataan khas orang kota.

Ketika Riham dan Rasmi akan mengetuk pintu pagar yang berukuran lebih tinggi dari tinggi badan mereka, seseorang nampak keluar dari pintu utama rumah. Seorang laki-laki yang berumur sekitar lima puluhan dengan tinggi badan sedang dan perut sedikit tambun. Rambutnya yang agak berwarna kelabu dan disisir klimis kebelakang, memperlihatkan lebarnya dahi. Ia memakai sejenis seragam dinas berbahan katun berwarna coklat khas pegawai negeri. Ia nampak tertegun menatap keluar dimana ia melihat dua orang yang akan bertamu di kediamannya.

” Selamat pagi, pak lurah, ” mereka berdua memberi salam sedikit berteriak.
” Ya, selamat pagi. O, dik Rasmi. Mari masuk, buka saja, ndak dikunci, saya masuk ke dalam dulu ” jawab pak lurah.
” Baik, pak ” jawab Rasmi.

Setelah membuka pagar besi itu, mereka berdua masuk berjalan menyusuri jalan setapak yang terbuat dari batu kerikil poles yang ditata sangat rapi yang menghubungkan pintu pagar dan undakan menuju teras rumah. Mereka mengambil tempat di sebuah table set dari kayu yang berbentuk ukiran etnis yang terletak di teras yang lumayan lebar itu. Sejenak mereka terdiam sambil menunggu pak lurah keluar dari rumah induk. Tak berapa lama keluarlah pak lurah yang mereka tunggu.

” Ada perlu apa, Dik Rasmi? ” tanya pak lurah sembari mengambil tempat duduknya.
” Begini pak, saya yang berkepentingan kemari, ” Riham menyahut pertanyaan pak lurah sebelum Rasmi membuka mulutnya. Lalu ia melanjutkan sambil mengulurkan tangan kanannya, ” Saya Riham, ponakan Pak Darno, ”
” O, ya. Mahmudi. Saya sudah lihat adik kemarin waktu tahlil. ya, ya, ” sambil tersenyum pak lurah membalas jabat tangan Riham dengan hangat.
” Maaf, Pak. Saya baru bisa sowan hari ini, soalnya kemarin masih sibuk sekali, ” ujar Riham.
” O, ya. Saya mengerti. Memang sibuk sekali pada saat-saat seperti ini. Masih banyakkah teman-teman Pak Darno yang bertamu sampai saat ini, Dik Riham? ” pak Lurah Mahmudi bertanya pada Riham.
” Yah, ada beberapa, pak lurah, ”
” Ya, semoga itu cukup untuk menghibur kesedihan Pak Darno. Sejak meninggalnya Bu Darno, saya masih belum pernah melihat Pak Darno keluar beraktifitas. Bagaimana keadaan beliau, dik? ”
” Pakde hanya sebentar-sebentar saja keluar rumah, pak. Namun, pakde cukup kuat menghadapi cobaan ini, pak. Beliau baik-baik saja. Hanya saja, beliau masih belum ingin keluar rumah, hanya duduk-duduk saja di teras, ”
” Yah, syukurlah kalau Pak Darno baik-baik saja. Terima kasih Dik Riham mau menyempatkan waktu datang ke tempat kami, ”
” Terima kasih kembali, pak. Semua memang sudah seharusnya, ” jawab Riham.

Tiba-tiba dari arah dalam rumah, seorang gadis tanggung dengan usia kira-kira lima belas hingga enam belas tahunan keluar dan berjalan ke arah tempat mereka berbincang. Tingginya sekitar seratus enam puluhan lebih dengan ukuran tubuh yang semampai. Kulitnya bersih terutama di sekitar wajah yang bersemu merah segar. Sempat juga Riham terpana akan kecantikannya. Rambutnya yang dibiarkan terurai sepunggung dengan hiasan jepit kecil merah muda untuk menahan poninya berkibar-kibar seiring gerakan pinggulnya. Ia berjalan menuju pak lurah yang duduk di depan Riham.

” Pak, aku berangkat sekarang. Bekalnya sudah disiapkan ibu. Bapak titip apa? ” tanyanya sambil sedikit berbisik pada pak lurah.
” Sebentar to nak, jangan buru-buru. Tunggu bapak dulu, kan bapak masih ada tamu, ” jawab Pak Lurah Mahmudi sambil tersenyum padanya.
” Keburu siang pak…” sahutnya kembali.
” Sebentar, kamu belum berkenalan sama Mas Riham ini. Ini Nastiti, Dik Riham, anak saya. Ayo Nas, beri salam Mas Riham, ”
” Nastiti, mas, ” Nastiti mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Lalu ia melanjutkan, ” Maaf mas, saya buru-buru sekali, teman saya sudah menunggu di ujung desa, mau belanja ke kota. Lain kali mungkin…”
” O, silahkan. Lain kali kita bisa berbincang lagi, ” jawab Riham.
” Pak, ndak ada titipan to? Aku berangkat sekarang, ” sahut Nastiti yang dijawab anggukan oleh pak lurah. Lalu Nastiti berpamitan singkat pada Riham dan Rasmi, dan menghilang di balik pintu utama.
” Maafkan anak semata wayang saya, Dik Riham. Biasa, putri tunggal, manjanya minta ampun, ” ujar pak lurah sambil tertawa lepas.
” Biasa pak, ndak apa-apa, ”

Sebentar kemudian mereka terlibat dalam obrolan dengan tema yang bermacam-macam. Percakapan mereka begitu hangat, hingga sesekali terdengar tawa kecil keluar dari mulut salah satu dari mereka. Kehangatan sambutan pak lurah yang berlaku sebagai tuan rumah yang baik benar-benar merasuk di di hati Riham, hingga ia lupa bahwa hari sudah beranjak siang, dan pak lurah pasti akan sibuk dengan tugas harian di kantor desa. Lalu mereka berdua pamit. Pak lurah mengantarkan keduanya hingga di depan pagar halaman. Riham dan Rasmi mengangguk ramah pada beliau yang berpesan untuk sewaktu-waktu datang berkunjung kerumahnya kembali.

” Beliau ramah sekali, Ras, ” Riham membuka pembicaraan setelah mereka berdua kembali berjalan menyusuri jalan desa.
” Yah, tidak banyak orang angkuh di sini ham. Masa kau lupa? Mungkin hanya beberapa saja, ” jawab Rasmi yang dilanjutkan dengan tertawanya yang renyah. Meskipun dengan penampilan yang anggun sekali menurut Riham, Rasmi tetap saja ceplas-ceplos dan tegas seperti waktu ia kanak-kanak dulu. Riham jadi semakin nyaman bila berbincang dengannya, seperti mereka tak pernah berpisah dari dahulu.
” Ham, ” panggil Rasmi ketika mereka berdua telah sampai di depan pagar rumah Rasmi. Ia melanjutkan, ” Sudah sampai rumah, kita berpisah disini, ”
”Iya Ras. Aku juga ada janji dengan Mas Tono siang ini. Ia akan mengantarkan ku ke kota, ada beberapa keperluan yang harus kubeli, ” ujar Riham.
” Kalau begitu, silahkan. Kalau sedang longgar, mampir ke sini Ham, kita lanjutkan ngobrol, ”
” Wah, Ras. Sebenarnya aku sedang bingung, ” Riham berkata sedikit menggumam.
” Apa yang kau bingungkan? ” tanya Rasmi.
” Siapa yang ndak mau diundang gadis tomboy yang jadi feminin dan manis seperti ini. Tapi aku takut digampar sama jagoan desa yang jadi tunanganmu…bisa mbendul abuh (benjol bengkak) mata ini, takut ah! ” jawab Riham menggoda Rasmi.
” O, Dasar! ” Rasmi menggerakkan tangan seakan-akan memukul Riham sambil tertawa. Riham pun bergerak seakan-akan menelak pukulan Rasmi. Tawa mereka terdengar keras sekali di sepanjang jalan desa.
” Yah, Ras. Besok sore sepertinya aku ndak banyak pekerjaan. Aku mungkin akan berjalan-jalan sejenak melihat perkebunan, ” ujar Riham.
” Hmm…besok sore..mungkin aku bisa mengantar, ”
” kebetulan, Mas Tono juga sedang sibuk dengan kegiatannya di sawah. Apa ndak merepotkanmu Ras? Atau ’merepotkan’ tunanganmu….” tanya Riham. Matanya mengerling genit pada Rasmi.
” hahaha, tunanganku ndak disini Ham. Ndak apa-apa, besok Insya Allah kalau ndak ada halangan, aku antar kamu, ” jawab Rasmi.
” Baik kalau begitu, aku pamit dulu Ras, ”
” Hati-hati, Ham, ”

Mereka berdua berpisah di depan rumah Rasmi, di tepi jalan desa yang lengang.

Januari 8, 2009

Petaka Lereng Lawu – BAB XVI

Filed under: Horor,Novel,Petaka Lereng Lawu — harlockwords @ 1:31 am
Tags: , , , , , , , ,

 

 BAB XVI

 

 

Sesampai di depan rumah pakdenya, Riham langsung masuk ke halaman rumah melewati pintu pagar pekarangan Pakde Darno. Di teras rumah sudah tidak ada siapa siapa lagi. Bahkan cangkir kopi maupun lepek tempat kue itu pun sudah tidak ada lagi. Nampaknya pakde sudah membawa semua suguhan kedalam. Riham sempat berharap, semoga saja pakde tidak sekaligus mencucinya. Setelah Riham melewati kusen pintu utama, ia melihat pakde sedang berjalan keluar dari kamarnya.

 

“ Baru datang Ham? “ tanya pakdenya setelah pakde melihat RIham yang baru masuk ke ruang tengah.

“ Iya pakde, baru saja “

“ Terus kapan kamu mau ke tempat lurah? “ tanya pakde kembali.

“ Hmm…” Riham melongokkan kepalanya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.26 menit.

“ Sepertinya ndak sekarang pakde. Saya mau tidur dulu. Tadi malam tidur saya kurang bisa nyenyak, pakde. Sekarang kepala saya agak pusing “ kata Riham melanjutkan.

“ Sebentar lagi sudah Dzuhur, le. Tunggu adzan dulu. Sehabis sholat, kamu tidurlah “

“ Baik pakde “ jawab Riham singkat.

“ Jangan lupa kamu minum obat. Kamu bisa cari obatnya di kotak obat di dapur “ sahut pakdenya lagi

“ ya pakde, saya ke dapur dulu “


Riham menuju dapur dan berpura-pura mencari obat di kotak obat. Sebetulnya ia agak malas untuk bepergian hari ini, jadi ia beralasan sakit kepala kepada pakdenya . Ia membayangkan kesibukan acara tahlil nanti malam, sedangkan semalam ia kurang tidur dengan gangguan gangguan mimpinya. Ia ingin merebahkan sejenak penat badannya sebelum ia merasa demam dikarenakan kecapaian.

 

Ketika ia menuju ke belakang untuk mengambil air wudlu, ia melihat cangkir kopi yang masih kotor beserta lepek nya di tempat pencucian piring. Ia tersenyum dan sedikit bersukur melihatnya. Lalu ia mengambil dan mencucinya tanpa menunggu nanti. Setelah selesai, ia mengambil air wudlu dan segera masuk ke kamar tidurnya. Ia duduk di pinggiran dipan sambil menunggu musholla desa mengumandangkan adzan Dhuhur nya. Hanya selang beberapa menit kemudian terdengarlah panggilan suci itu. Riham pun mengambil posisinya.

 

Setelah selesai menunaikan kewajiban sebagai umat, Riham pun menuju meja belajar untuk mengambil seteguk air yang ia bawa dari dapur tadi. Sungguh segar tenggorokannya setelah berjalan jauh menuju makam tadi. Lalu ia menuju pembaringan. Dibersihkannya dulu pembaringan itu dari debu yang menempel. Lalu ia merebahkan badannya di pembaringan. Ia mencoba untuk memejamkan matanya yang telah kecapaian. Namun, sedikit dalam benaknya Riham merasa amat ketakutan untuk memasuki wilayah dewi mimpi. Kemungkinan untuk mendapatkan teror mimpi buruk setelah dua kali tidur bisa terjadi lagi.

 

Mengingat hal itu, seluruh bulu di badan Riham meremang. Ia membuka kembali kedua matanya. Keringat dingin pun tak terasa membasahi badan Riham yang sedikit menggigil itu. Hatinya gelisah. Akankan nanti ia akan kembali bermimpi. Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab di batin Riham membuat kepenatan yang melanda tubuhnya kembali memenangkan pertempuran. Tak lama berselang, kedua mata Riham tertutup rapat. Terdengar hembusan halus yang konstan dari kedua lobang hidungnya menandakan bahwa mau tidak mau Riham telah dijemput oleh dewi mimpi di peraduannya. Entah mau dibawa kemana jiwa Riham saat itu. Nampaknya Riham juga tak memperdulikan, sama sekali.

 

 

 

 

Jam sudah menunjukkan pukul 14.47 menit ketika suara adzan Ashar membangunkan Riham dari tidur nyenyaknya. Hampir saja ia tersentak kaget ketika suara itu menggema di telinganya. Perlahan Riham mendapatkan kembali kesadaran penuhnya.  Sejenak ia duduk dan merenggangkan tubuhnya. Sungguh nikmat rasanya melakukan hal itu, seakan akan Riham telah lama tidak merasakan tidur dengan sangat nyenyak seperti saat ini. Ia tersenyum kecil. Ternyata semua yang ditakutinya tidak terjadi saat ini. Hampir tiga jam ia tidur, waktu yang cukup lama untuk beristirahat siang.

 

Riham bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu kamar tidurnya. Setelah sejenak membasuh muka dan bersuci, Riham kembali ke kamar untuk kembali menunaikan kewajibannya. Segera setelah selesai dengan hajatnya, Riham keluar kamar dan menuju teras rumah dimana Pakde Darno sedang duduk di bale-bale menikmati udara sejuk sore lereng Gunung Lawu. Sore itu memang tidak begitu panas walau mentari masih dengan garang bersinar di langit. Angin yang menghembus perlahan membawa udara dingin yang berasal dari puncak gunung turun ke lerengnya di desa ini. Angin sepoi-sepoi ini benar-benar menambah kesempurnaan suasana sore. Riham berjalan perlahan sembari memberi salam kepada pakdenya.

 

“ Sore pakde, “ seru Riham dengan sopan.

“ Hmm..sore le. Gimana istirahatmu? Nyenyak? “

“ Alhamdulillah pakde, sudah agak ringan kepala saya. Tadi mungkin karena kecapaian, “ jawab Riham merespons pertanyaan pakde.

“ Syukurlah. Ada rencana kemana sore ini? “

“ Ndak ada. Saya mau bantu-bantu mempersiapkan tahlil nanti malam saja pakde, “

“ hmm..baik kalau begitu. Di belakang, sudah banyak yang mulai mengerjakan masakan, “

“ Iya pakde. Tadi saya sempet memberi salam pada mereka sebelum mengambil air wudlu, “

“ O ya? Kalau begitu kamu kedalam, mungkin ada sesuatu yang mereka butuhkan dan kamu bisa sedikit membantu mereka. O ya, jangan lupa ngopi dulu. Kalau mau ngopi, bawa kesini saja, “ ujar pakdenya.

“ Baiki pakde. Lebih baik saya ngopi sebentar. Saya ambil kopinya di belakang dulu, “

 

Riham mempersiapkan kopinya dan segera membawa kembali ke teras rumah. Riham membakar sebatang rokok untuk menemani acara minum kopi dan menghisapnya dalam-dalam. Kini Riham dan pakdenya terlibat pembicaraan ringan himgga salah satu pemuda desa datang untuk membatu mempersiapkan kebutuhan tahlil nanti malam. Dengan diikuti Riham, pemuda tadi menata karpet dan tikar lalu menggelarnya di halaman rumah. Tak lama berselang, beberapa pemuda datang berbondong-bondong turut membantu persiapan itu. Mereka bubar sesaat sebelum adzan Maghrib dikala semua persiapan telah selesai.

 

Acara berjalan lancar seperti malam kemarin. Tidak ada sesuatu hal yang menarik. Hampir seluruh penduduk desa datang mengikuti acara doa bersama. Acara tetap diakhiri dengan jagongan para penduduk hingga jam sepuluh malam. Kemudian Riham bersiap untuk tidur di kamarnya setelah menunaikan ibadah Isya’. Suasana menjadi sepi. Beberapa menit Riham merebahkan badannya di dipannya, namun ia tak kunjung bisa memejamkan mata. Berkali-kali ia kembali membelalakkan matanya setelah beberapa detik memejam. Entah karena suasana sepi mencekam yang menghantuinya atau memang ia masih belum mengantuk. Yang pasti ia merasa kegerahan saat ini.

 

Setelah beberapa lama, ia memutuskan untuk keluar kamar. Ia ingin mencari hawa untuk mengusir gerahnya saat ini. Riham keluar melewati pintu utama rumah setelah membuka selotnya. Ia memandang halaman yang sedikit agak kotor bekas acara tadi sore. Semua tikar telah digulung dan diletakkan di pinggir teras. Riham tahu, besok pagi ada tetangga yang akan membersihkannya. Tentu orang tersebut telah diupah oleh Pakde Darno. Suasana halaman telah sunyi senyap. Ia melirik sebentar ke arah jam dinding yang menempel di ruang utama. Pukul 11.36. Cukup malam rupanya. Ia bergerak perlahan menuju bale-bale dan duduk sebentar. Sebenarnya hawa saat itu cukup menyayat tulang. Tapi entah, mengapa ia merasa sangat kegerahan di dalam kamar tadi. Apa mungkin ia trauma akan kejadian kemarin malam? Riham tak mengerti sama sekali. Ia sudah berusaha melupakan hal itu. namun semuanya seakan menjadi firasat yang berkesinambungan. Sejak kejadian di bis antar kota kemarin siang hingga penglihatan di makam, semua seperti ada hubungan satu sama lain. Semua semakin  menyita perhatiannya.

 

Dalam lamunannya di tepi bale-bale di teras itu, Riham dikejutkan oleh belaian halus angin yang membawa hawa dingin di tengkuknya. Pada awalnya ia menganggap angin malam sedang berhembus lirih dari arah gunung. Namun angin sepoi tersebut membawa suasana aneh bagi bathin Riham. Seluruh bulu di badannya meremang hebat. Ia jadi teringat pengalamannya kemarin, yang pastinya hanya mimpi. Padahal kini ia belum merebahkan badan. Kesadarannya masih penuh, pun matanya belum lagi berat. Perasaan apa yang menjalari badannya kini? Hatinya mulai gelisah. Sebentar-sebentar bola matanya bergerak-gerak hingga ke sudut mata yang paling jauh untuk memeriksa keadaan sekeliling.

 

Pandangannya terhenti pada sebuah pohon mangga yang berada di sebelah ujung kiri halaman rumah. Lamat-lamat di kegelapan suasana, ia menangkap sosok bayangan yang bergerak-gerak tepat di bawah pohon itu. Riham sedikit kaget. Matanya mengernyit mencoba menajamkan penglihatan. Rasa penasaran akan sosok sebenarnya dari bayangan itu membuat ia tak hendak berpaling dari pohon di ujung halaman. Riham memajukan kakinya selangkah untuk memperjelas penglihatannya. Cahaya bulan yang tak terhalang mendung memberi penyinaran yang hampir sempurna menembus batang-batang pohon mangga yang tak terlalu rimbun. Semerbak bau harum samar menghampiri hidung Riham. Bentuk siluet yang menempel di tepi dahan pohon semakin memperlihatkan bentuk aslinya. Riham melangkah beberapa tapak ke depan. Hingga saat pandangannya menangkap bentuk itu, langkahnya mendadak terhenti.

 

Riham melihat dengan jelas sesosok wanita dengan wajah yang putih pucat, seakan ia mengenakan bedak satu kompak penuh, walaupun sebagian wajah itu tertutup rambut panjang selutut dan awut-awutan. Kedua lengannya terjatuh sempurna di samping badannya, seperti dia sangat enggan untuk menahan bobot dari kedua lengan itu. Pandangan matanya tajam namun menghiba menembus ulu hati Riham yang terpaku tanpa kata di depannya. Baju putih panjang yang sedikit lusuh menyelimuti badan sosok itu.

 

Apalagi ini…? Riham membatin tanpa bisa mengeluarkan patahan-patahan kalimat lewat mulutnya. Bibirnya terbuka lebar dan sulit untuk dikatupkan. Kembali perasaan mencekam menindas logika Riham. Ia yakin sekali, ia belum tidur saat ini. Berarti semua yang dilihatnya saat ini nyata adanya. Nyata sekali, senyata bulan yang menggantung di langit ,yang sinar keperakannya menambah hawa mistis di sekeliling halaman ini. Keringat dingin mengucur deras, pundaknya terasa amat kaku hingga lengan dan tangan Riham tampak bergetar hebat. Ingin sekali ia melangkahkan kakinya sejauh ribuan langkah menjauh dari halaman itu, namun lututnya benar-benar tak mau diajak untuk bekerjasama dengan otaknya. Telapak kakinya seakan tenggelam di tanah halaman dan mukanya tak bisa ia palingkan kearah manapun.

 

Sosok muram berbaju lusuh itu sedikit bergerak melayang ke arah Riham, namun ia tak terlalu mendekat pada Riham. Mahluk itu berhenti beberapa meter dari Riham berdiri dan menatap dengan pandangan menghiba. Bagaimanapun memelas tatapan mata sosok itu, tak urung Riham bergidik memandang wajah pucat didepannya. Riham yakin yang ditatapnya saat ini pasti bukanlah manusia normal seperti dirinya, walaupun dari bentuk fisik secara lengkap yang dilihat Riham adalah manusia. Namun hawa mistis yang menyelimuti dirinya saat ini memberi informasi lain pada otaknya. Ia tahu yang dilihatnya sekarang adalah mahluk dari dunia gelap, yang sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa dan raganya. Dada Riham bertambah kencang berdegub, bulu kuduk nya meremang dan badannya semakin menggigil keras.

 

Tiba-tiba mahluk miris  itu menggerakkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, namun suaranya seperti ditelan ruang hampa di sekitar yang kini menekan dada Riham. Tak terdengar suara apapun, namun bibir pucat berwarna abu-abu itu terus bergerak-gerak. Mata mahluk itu tetap menghiba menusuk ke dalam relung hati Riham. Riham berusaha untuk menterjemahkan gerakan bibir mahluk itu ke dalam kata-kata yang ia mengerti. Tetapi dengan tekanan yang dahsyat seperti ini, jelas Riham kehilangan fokus. Ia hanya mengira-ngira apa maksud dari mahluk itu menampakkan wujud pada dirinya. Yang pasti, ia hanya merasa dirinya terancam tanpa bisa berbuat apapun.

 

Tak berapa lama saling berdiam diri, sosok itu mengangkat lengan kanannya. Jari telunjuknya mengacung ke arah barat desa, tepat dimana puncak Lawu bertengger dengan gagah. Mulutnya masih berkomat-kamit, dan matanya, ya, matanya menampakkan pandangan yang lebih memelas dari sebelumnya. Ia seperti meminta sesuatu kepada Riham. Sesuatu yang Riham rasa sangat berat untuk memenuhinya. Riham terbengong melihat sosok itu menunjuk-nunjuk ke arah perkebunan di lereng Lawu itu. Ia masih belum sadar dan belum mengerti akan maksud dari kejadian yang menimpanya. Ia masih saja menatap sosok itu tanpa berbuat apa-apa. Seperti disengat listrik, baru Riham menyadari maksud dari mahluk itu. Ia mencoba menggerakkan kepala menuju arah yang ditunjuk oleh mahluk itu. Dikegelapan malam ia melihat sosok megah Gunung Lawu yang hanya tampak sebagai bayangan kelabu di temaram cahaya bulan. Ia kembali menatap mahluk itu. Sosok mengerikan yang masih berada ditempatnya itu tetap saja memandangnya dan menunjuk ke arah hutan pinus di kejauhan. Bercampurnya rasa takut dan penasaran akan maksud dari peristiwa ini, Riham memberanikan diri untuk berkata-kata, walau suaranya seakan tersendat di kerongkongan.

 

” S..s.siapa kamu? ” tanya Riham. Mahluk itu diam tak merespon pertanyaan Riham dan tetap saja pada posisi semula. Tak bergerak sedikitpun dan lengannya masih teracung ke arah lereng gunung.

” Iya, saya tahu. Ada apa disana? Apa mau kamu? ” Riham melanjutkan pertanyaannya.

 

Kembali mahluk itu berkomat-kamit, seakan ingin sekali menjawab pertanyaan Riham. Namun, suaranya tetap tak terdengar. Riham yang telah kembali menguasai kemampuannya, maju selangkah ke arah mahluk itu untuk mendengarkan suaranya. Tapi, jarak antara dirinya dan mahluk itu tidak pula bertambah dekat. Kembali Riham melangkahkan kakinya beberapa langkah. Baru dia sadar bahwa secara perlahan mahluk itu bergerak mundur mengikuti langkah kakinya, sehingga jarak dengannya pun tidak bertambah dekat.

 

” Jangan menghindariku. Katakan, apa mau kamu? Apa maksudnya semua ini? Kembalilah kemari. Mbak…mbak! ”

 

Riham mempercepat langkahnya untuk mengejar mahluk itu. Gerakan mundur yang seperti melayang itu juga semakin cepat menuju arah pohon mangga dimana ia muncul pada awalnya. Lalu, dengan gerakan cepat yang tak bisa diikuti mata Riham, mahluk itu bergerak menyamping sehingga tertutup oleh batang pohon mangga yang lumayan besar itu. Riham berlari mengejarnya dan mencari dibalik pohon. Tapi, disana ia tak menemukan siapa-siapa. Mata Riham mencari di kegelapan halaman dan di jarak pandang terjauh pun, di balik pagar bambu pendek yang mengarah ke jalan setapak Desa Njamus. Ia tidak menemukan siapa-siapa. Saat dia berkonsentrasi menajamkan matanya, sesuatu menepuk pundak Riham dari belakang.

 

” Haah!! ” Riham menengok kebelakang sambil mencoba menangkis sesuatu yang menjamah pundaknya.

” Dik! ” Seseorang berteriak sembari menghindari pertemuan lengannya dengan lengan Riham.

” Loh! Mas Ton? Aduh mas. Hampir copot jantungku, ” seru Riham kepada seseorang yang ternyata adalah Tono. Riham mengelus-elus dada yang berdegub kencang untuk menenangkannya.

” Maaf, dik. Bukan maksudku mengagetkan Dik Riham. Ada apa malam-malam diluar dik? ”

” Ndak apa-apa mas. Mas Ton lihat ada perempuan disini tadi? ” tanya Riham

” Hmm…aku lihat Dik Riham sendiri saja disini dari tadi berlari-lari seperti mengejar sesuatu. Ndak ada perempuan sama sekali. Ono opo tho dik? ” jawab Tono.

” Ndak mas. Ndak apa-apa, ” jawab Riham merespon pertanyaan Tono. Sejenak Riham berdiam diri.

“ Ndak papa kok pucat gitu dik. Habis lihat setan ya? “ Tanya Tono kembali sembari tersenyum kepada Riham. Riham tahu, Tono hanya bergurau kepadanya. Namun, pertanyaan Tono seperti jawaban tebakan yang mendapatkan hadiah utama. Ingin rasanya Riham mengiyakan pertanyaan Tono itu, namun ia yakin, Tono tak akan percaya bila ia menceritakannya.

“ Ndak ada apa-apa kok mas, bener. Mas dari mana malam-malam begini? ” Riham membelokkan topik pembicaraan dengan cepat.

” Eh iya, tadi aku dari rumah carik, ada rapat. Terus aku lihat Dik Riham berlarian dan menengok-nengok sendiri disini. Aku pikir ada maling, dik. makanya aku langsung kesini, ” jawab Tono panjang lebar.

” O, begitu mas. Mau mampir dulu aku buatkan kopi mas? ” Riham mengundang Tono untuk singgah di bale-bale di teras rumah.

” Kalau ndak ada apa-apa, aku langsung pulang saja dik. Sudah mengantuk nih, lain kali saja kita ketemu, ” Tono menolak tawaran Riham dengan halus.

” Baik kalau begitu. Aku juga mau masuk dulu ke dalam, mas,

Monggo dik, ”

Monggo, ”

 

Keduanya lalu berpisah di halaman sepi dan gelap rumah Pakde Darno. Tono pulang menuju rumahnya yang tak jauh dari rumah itu. Sedangkan Riham beranjak masuk ke dalam rumah, menuju peraduannya. Entah, apakah nanti ia bisa terlelap atau ia akan terbayang-bayang kejadian barusan, ia tak ambil pusing. Yang penting ia ingin pergi jauh dari halaman dan pohon mangga itu.

 

 

Desember 15, 2008

Petaka Lereng Lawu – BAB XV

Filed under: Horor,Novel,Petaka Lereng Lawu — harlockwords @ 1:50 am
Tags: , , , , , , , ,

`

 

BAB XV

Seorang laki laki yang berumur sekitar lima puluh tahunan tampak berjalan cepat melewati regol rumah besar di ujung pertigaan jalan makadam. Perawakannya sedang. Tidak telalu tinggi ataupun pendek. Pakaian rapi yang dikenakan menandakan bahwa ia adalah seorang pegawai pemerintahan, minimal perangkat desa. Baju safari yang ia kenakan tak bisa menyembunyikan perut tambunnya yang kelihatan bergerak gerak saat ia berjalan dengan tergesa. Wajah yang terlihat sudah menunjukkan banyak guratan guratan usia itu nampak tegang menghadap lurus kedepan. Nampaknya ia sedang dalam urusan yang menyita seluruh perhatiannya.

Saat itu didalam rumah besar, Djojobroto seperti biasa sedang duduk di sebuah kursi santai di pinggir kolam renang menghadap Supeni yang juga seperti biasa melaporkan pekerjaan hariannya. Nampaknya hari ini bukanlah hari keberuntungan bagi Supeni. Terlihat ia sedang tertunduk menghadap juragannya yang sedang memasang muka yang masam sekali.

” terus rencanamu bagaimana ngatasi masalah yang di sebelah barat? ” tanya Djojo pada Peni

” Anu pak…sebetulnya kemarin sudah disemprot obat, tapi sampai hari ini masih saja…” jawab Peni

” Saya ndak mau tahu itu, ni. Yang penting jangan sampai merembet ke semua bagian ” potong Djojobroto tegas. Nada bicaranya menjadi agak tinggi.

”..ee..ii..iya..pak. Sekarang juga masih dicoba sama anak anak mengatasinya dengan…” Peni agak keder menghadapi sang juragan

” Jangan Cuma mencoba coba! ” tiba tiba Djojobroto menghardik ” Aku ndak bisa toleransi sama kegagalan! ”

” ..i.i..iya..pak..saya mengerti ” Kepala Supeni semakin menunduk mendengar hardikan dari sang juragan.

Tidak lama kemudian, seseorang nampak berjalan tergesa gesa mendatangi mereka berdua. Setelah mendengar salam dari orang yang baru datang tersebut, kepala keduanya sontak menengadah hampir bersamaan. Djojo menjawab salam dari orang yang baru datang itu nyaris dengan tanpa ekspresi, sedangkan Peni kembali menundukkan kepalanya. Matanya tetap menghadap kedua telapak tangan yang memainkan kedua jempol jarinya secara terus menerus. Walaupun dengan kondisi dan situasi yang sangat tidak mengenakkan itu, diam diam Peni merasa berterima kasih atas kedatangan tamu tersebut. Secara tidak langsung, kedatangannya membantu Peni untuk segera ’melarikan diri’ dari juragannya. Paling tidak itu harapan Peni untuk saat ini.

” Pagi Kang Djojo, ” seru tamu itu ketika posisinya sudah mendekat kepada mereka berdua.

” Pagi, ” jawab Djojo acuh. Hanya sebentar Djojo menengok kepada orang yang baru datang itu. Lalu matanya kembali menghadap ke laporan yang diberikan Peni.

” Kang, ada apa Kang Djojo manggil saya? ”

ngko sik ( nanti dulu). Kamu cari tempat duduk, bawa kesini, ” tandas Djojo

” Lho, Ni. Piye? ” tanya tamu tersebut ketika pandangannya terhenti kepada sosok Peni yang menunduk.

” Ya Ki Lurah. Baik, ” jawab Peni sambil menenggadah menghadap kepada yang menyapanya.

Setelah menjawab, kembali pandangan mata Peni tertunduk. Sedangkan sang tamu yang ternyata Lurah dari Desa Njamus menuju kumpulan meja bundar dan kursi santai di seberang untuk mengambil salah satu dari kursinya. Nampak Djojobroto berbicara kepada Peni dengan sedikit intonasi tinggi, tak terkadang dengan hardikan. Kepala Peni semakin rendah hingga dikejauhan nampak janggut Peni seperti melekat pada dadanya. Sebentar diam, sebentar mengangguk kecil sambil mulutnya monyong mengiyakan perintah juragannya yang sedang naik pitam itu. Ki Lurah tersenyum kecil melihat kejadian itu dikejauhan dan ia sedikit menggelengkan kepalanya. Ki Lurah pun kembali ke samping Djojobroto setelah mendapatkan tempat duduk.

” Ya sudah, besok kamu kembali kesini melaporkan perkembangannya, ” kata Djojo kemudian.

” Baik pak, ” jawab Peni dengan masih menundukkan kepalanya.

” Sekarang kamu balik ke kebun. Bilang sama anak anak untuk secepatnya di atasi, mengerti? Saya ada tamu ” perintah Djojo pada Peni.

” iya pak, saya ke kebun dulu. Monggo Ki Lurah, ” Peni berpamitan kepada keduanya sambil berdiri dari tempatnya duduk. Dengan sedikit tergesa Peni membalikkan badan dan secepatnya berlalu dari pandangan dua orang yang masih duduk ditempatnya itu.

piye kang. Ada apa manggil saya? ” tanya Ki Lurah kemudian.

”Ada banyak masalah yang ingin saya bicarakan, ” kata Djojo

” hmm…masalah apa to kang? ”

ngene lho Di, aku baru dapat kabar bahwa ada orang asing yang masuk desa kita dari anak anak. Apakah sudah lapor sama kamu? ”

” aku tahu kang. Memang ia belum lapor aku. Tapi kelihatannya ada yang bertanggung jawab terhadap dia ”

” kamu jangan menggampangkan lho Di. Seharusnya kamu periksa ia dari mana asalnya, ada keperluan apa tinggal disini dan sebagainya. Sebagai lurah kamu harus tanggap Di, ” ujar Djojo.

” iya kang, Aku ngerti. Tapi secara sekilas aku sudah mengenalnya walau tidak secara resmi ia melapor padaku. Memang, ia tidak punya identitas. Tapi saudaranya sudah memberitahuku saat kebetulan kami berpapasan di pasar. Bahkan ia dititpkan kepadaku soal pekerjaannya,” jawab Ki Lurah Mahmudi panjang lebar.

” Oo…jadi dia akan menetap disini, mencari kerja maksudmu? ” tanya Djojo kemudian

” Iya kang, ” jawab Mahmudi pendek

” Kamu titipkan dimana? ”

” Saya suruh kerja apa saja dipasar ”

” Hmm…memangnya, siapa yang bertanggung jawab terhadapnya? ” tanya Djojo.

” Ustadz Jamaluddin, katanya anak dari mendiang adiknya yang dari Malang ”

” Namanya? ”

” Benur, Benur Nurrochman, kata Ustadz Djamal. Umurnya baru 19 tahun, masih muda kang ”

” hmm…” Djojobroto menggumam sambil memegang janggutnya yang bersih.

” Ada apa kang? Ada sesuatu yang ndak beres? “ tanya Lurah Mahmudi

“..hmm..ndak ada apa apa. Cuma, aku mau mengingatkanmu tentang perjanjian kita, “

” Saya masih ingat dengan baik Kang Djojo. Kakang ndak usah khawatir dengan situasi desa. Semua sudah saya awasi dengan baik, Bagaimana dengan Ki….”

” Jangan bicarakan sekarang. Tunggu semua kumpul. Kita bicarakan lagi nanti, ” Djojobroto segera memotong pertanyaan Mahmudi

” Baik Kang. Kakang ndak ada keperluan lainnya? Kalau ndak…”

” Sebentar to Di. Keburu apa kamu? “ sahut Djojobroto dengan nada agak tinggi.

“ Bukan begitu Kang. Sebentar lagi aku dipanggil pak camat. Aku kan harus mempersiapkan bahan bahan buat pembicaraan nanti dengannya, “ sanggah Lurah Mahmudi.

“ Sebentar….rasanya, kau sekarang jadi seperti bukan bagian dari kita. Kau sering tidak menghadiri undangan saat kita semua berkumpul. Apa kau ingin melepaskan diri? ”

” Ah…Kang, jangan berpikiran seperti itu. Aku ndak akan melupakan jasa jasa Kakang Djojo kepadaku. Begitu pula saudara saudara yang lain, ” kembali Mahmudi menyanggah pertanyaan Djojobroto.

” Kau bisa saja berbohong dengan menyanggah segala tuduhanku. Tapi bila kau mengahdapi beliau, bisa apa kau menyangkal? Kami mungkin tak tahu keadaanmu sekarang, tapi nanti. Nanti kau akan menghadapinya sendiri. Ingat itu, Di ” kata Djojobroto. Mahmudi terdiam sejenak. Lalu ia angkat bicara,

” Aku ndak akan berani, Kang. Demi Tuhan, aku ndak berani ”

” Berani benar kau menyebut nama Tuhan disini, jangan kau sebut sebut lagi nama itu ” Djojobroto menghardik keras kepada Lurah Mahmudi.

” I..iya, Kang. Pokoknya aku ingat perjanjian kita, aku tak akan ingkar, ”

” Baik. Aku hanya mencoba menyelamatkanmu dan keluargamu. Toh yang akan marah bukan aku, tapi beliau, ” kata Djojobroto mengingatkan ” Kau sudah menikmati hasilnya, Di. Kini tinggal kesetiaanmu saja, ”

” Iya Kang. Aku akan ingat selalu. Aku yakin begitu pula saudara saudara yang lain, ” jawab Mahmudi dengan mantap.

” Jangan lagi kau menghindar saat kami membutuhkan bantuanmu, Di. Jangan pernah lagi ”

” Iya Kang. Aku usahakan sekuat tenagaku, ” jawab Mahmudi.

” Baiklah, kau boleh pergi sekarang. Maaf, aku sampai lupa memberitahu pelayan membuatkan hidangan untukmu, ” Kata Djojobroto kemudian.

”  Ndak apa apa Kang, ndak usah repot repot. Aku juga sedang kesusu (terburu), “

“ Kalau ada apa apa, cepat kemari setelah suruhanku mengantar undangan dan bila kau sudah menerimanya, “

“ Baik Kang. Kalau ndak ada apa apa lagi, aku mau pamit dulu. Masih banyak yang harus ku kerjakan hari ini, “ kata Mahmudi. Ingin sekali ia segera pergi dari tempat ini dan meneruskan pekerjaan harian yang terpaksa ia tinggalkan setelah seseorang memberitahunya bahwa Ki Djojobroto memanggilnya.

” Baik, pergilah. Aku ndak mengantar, ” Jawab Djojo acuh.

” Aku pamit dulu Kang,” Mahmudi pamit dan bediri dari kursinya.

 

Ia bergerak untuk mengangkat kursi yang ia ambil untuk dikembalikan ke tempatnya semula. Djojo melarang Mahmudi menggangkat kursi itu dan dikatakan bahwa pesuruhnya saja yang nanti membereskan tempat itu selujruhnya. Lalu Djojo mempersilahkan Mahmudi keluar dari halaman belakang untuk segera kembali ke meja tugasnya di Kelurahan.

Beberapa langkah dari regol rumah Djojobroto, langkah Lurah Mahmudi terhenti. Seperti memikirkan sesuatu, wajah Lurah Mahmudi tertekuk kedalam. Kerutan wajah di dahi Mahmudi semakin menonjol. Sejenak ia menghembuskan nafas dalam dan menoleh kembali ke rumah Djojobroto.

 

” Kapan aku bisa terlepas dari situasi ini…” ia menggumam sendiri.

 

Lalu ia kembali menghadap kearah langkah kakinya berjalan dan beranjak pergi dari tempat itu.

 

” Aku sudah mengerti semua kebusukanmu Kang. Aku berharap Tuhan mau menolongku dan sekaligus menyadarkamu….tapi, kapan? ”

 

Sambil berjalan ia menggumam sendiri demi keselamatan jiwanya yang ia yakin kapan saja nyawanya  bisa amat terancam.

Laman Berikutnya »

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.