PROLOG
Bayangan itu berhenti dan berdiri diatas pohon pinus sambil menatap Marmo. Matanya menyala merah tajam. Samar samar Marmo menghirup bau yang menyesakkan. Tak menunggu lama, Marmo berlari kencang menuju sepeda yang dia parkir sambil mengucapkan lafal-lafal yang dia hafal. Bayangan putih itu berterbangan sembari menimbulkan suara berdesing mengejar Marmo. Marmo tidak berani untuk menoleh kebelakang. Dia pacu kecepatannya berlomba dengan detak jantungnya yang berdegub keras.
Marmo merasa belum lama para anak buahnya meninggalkan tempat itu. Dia berharap bisa segera menyusul mereka. Tetapi Marmo merasa jarak yang biasa dia tempuh jadi lebih jauh dari biasanya. Langkah kaki yang dia rasa telah mencapai kecepatan maksimum, tidak bisa membuat dia segera mencapai motornya. Bayangan itu semakin mendekat ke arahnya. Marmo merasa jemari jemari mahluk itu telah berada dekat sekali dengan tengkuknya.
“AAARRGG!!!!…”
Marmo terjatuh berguling tepat di sebelah ban motor yang dia parkir. Matanya memejam sejenak, dan dia buka untuk melihat sekeliling. Dengan gugup dia menoleh searah barisan pohon pinus di seberangnya. Dia melihat sorot mata merah di atas dahan pinus yang bergoyang ditiup angin senja itu.
Seperti mengejek, mahluk itu hanya memandang Marmo tanpa ada tanda tanda untuk terbang ke arahnya.
“ Ya Allah…..jangan aku ya Allah…..jangan aku…” ujar Marmo
Seperti tersadar, Marmo bangkit dan segera menstater motornya untuk secapatnya enyah dari tempat itu. Dia pacu motornya tanpa menghiraukan jalanan makadam yang penuh dengan batu. Samar samar dia mendengar suara teriakan melengking dan menjauh dari arah belakangnya. Dia kebut hingga memasuki gapura desanya dan secepatnya menuju rumah tinggalnya tanpa mengurangi kecepatan sedikitpun. Beberapa orang kampung yang melihat menampilkan ekspresi yang bermacam macam. Marmo tidak memperdulikan itu. Hanya nyawanya yang dia pedulikan. Marmo ingin secepatnya masuk rumah dan menguncinya.
Motor itu sampai di depan rumah. Marmo tidak peduli sandaran motornya sudah turun atau belum. Dia lemparkan motornya di tengah halaman lalu menghambur masuk. Dengan gugup Marmo mengunci pintu. Mulutnya yang bergetar hebat tak berhenti komat kamit. Peluh bercampur air mata menetes di seluruh mukanya.
“ Ada apa mas? “ Istinya yang baru keluar dari dapur bertanya kepadanya.
“ ………” Marmo diam seribu bahasa.
“……..Tini….walau ada apapun……jangan kau buka pintu ini…jangan sekali kali ! ….” Ucap Marmo kemudian dengan terbata bata
Marmo lari menuju kamarnya. Sang istri terbengong, lalu menyusulnya ke kamar. Tak diduganya, kamar itu terkunci dari dalam.
BRAKK!!..BRAK!!…BRAK!!!
“ Mas!!!….Mas!!! Buka pintu, Mas!! ” Tini berteriak sambil menggedor pintu.
“ Jangan-jangan……” Tini seperti ingat sesuatu “ Maaass….!!! Maaasss…!! “
Dari dalam kamar terdengar lenguhan. Dan….
“ AAKKHH…!! ..Ampuun….!! Ya Allaaaahh……”
“ Maaaaaaaasss..!!! Tooloooooooong….Tolonnnnngggg!!!!!!!! “ Tini berteriak histeris sehingga mengundang beberapa orang kampung datang kerumahnya.
“ Tolong pak….Mas Marmo didalam….”
“ Ada apa?? “
“ Mas Marmo, pak….”
“ HOEEKKK…!!!! HUKH….AAAARRGGHH!!! “ Lenguhan Marmo semakin keras terdengar
Tanpa basa basi lagi para penduduk kampung segera mendobrak pintu kamar Marmo
BRUAAK!!!!….
Penduduk kampung menghambur ke dalam kamar Marmo. Suatu pemandangan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata orang normal. Darah berceceran di sekitar pembaringan. Marmo terlihat dalam posisi bersujud dengan tangan kiri memegangi perut sedangkan tangan kanan memegangi leher. Kepalanya menoleh kekiri. Matanya membeliak keatas. Darah segar menetes di sisi mulutnya. Sudah bisa dipastikan kalau nyawanya sudah tidak tinggal lagi di raganya.
Tini menggelosor kebawah setelah melihat keadaan suaminya yang seperti itu. Penduduk kampong tercengang. Sebagian menggeleng-gelengkan kepala.
“ Mbang, panggil pak lurah……Ya Allah….satu lagi…” ujar salah satu warga.
“ Mau sampai kapan……”