Harlockwords’s Blog – …Story came Out From My Mind…….

Oktober 30, 2008

Petaka Lereng Lawu – Prolog

Filed under: Horor,Novel,Petaka Lereng Lawu — harlockwords @ 4:36 am
Tags: , , , , , , , ,

 

 

 

 

PROLOG

 

Bayangan itu berhenti dan berdiri diatas pohon pinus sambil menatap Marmo. Matanya menyala merah tajam. Samar samar Marmo menghirup bau yang menyesakkan. Tak menunggu lama, Marmo berlari kencang menuju sepeda yang dia parkir sambil mengucapkan lafal-lafal yang dia hafal. Bayangan putih itu berterbangan sembari menimbulkan suara berdesing mengejar Marmo. Marmo tidak berani untuk menoleh kebelakang. Dia pacu kecepatannya berlomba dengan detak jantungnya yang berdegub keras.

 

Marmo merasa belum lama para anak buahnya meninggalkan tempat itu. Dia berharap bisa segera menyusul mereka. Tetapi Marmo merasa jarak yang biasa dia tempuh jadi lebih jauh dari biasanya. Langkah kaki yang dia rasa telah mencapai kecepatan maksimum, tidak bisa membuat dia segera mencapai motornya. Bayangan itu semakin mendekat ke arahnya. Marmo merasa jemari jemari mahluk itu telah berada dekat sekali dengan tengkuknya.

 

“AAARRGG!!!!…”

 

Marmo terjatuh berguling tepat di sebelah ban motor yang dia parkir. Matanya memejam sejenak, dan dia buka untuk melihat sekeliling. Dengan gugup dia menoleh searah barisan pohon pinus di seberangnya. Dia melihat sorot mata merah di atas dahan pinus yang bergoyang ditiup angin senja itu.

Seperti mengejek, mahluk itu hanya memandang Marmo tanpa ada tanda tanda untuk terbang ke arahnya.

 

“ Ya Allah…..jangan aku ya Allah…..jangan aku…” ujar Marmo

 

Seperti tersadar, Marmo bangkit dan segera menstater motornya untuk secapatnya enyah dari tempat itu. Dia pacu motornya tanpa menghiraukan jalanan makadam yang penuh dengan batu. Samar samar dia mendengar suara teriakan melengking dan menjauh dari arah belakangnya. Dia kebut hingga memasuki gapura desanya dan secepatnya menuju rumah tinggalnya tanpa mengurangi kecepatan sedikitpun. Beberapa orang kampung yang melihat menampilkan ekspresi yang bermacam macam. Marmo tidak memperdulikan itu. Hanya nyawanya yang dia pedulikan. Marmo ingin secepatnya masuk rumah dan menguncinya.

 

Motor itu sampai di depan rumah. Marmo tidak peduli sandaran motornya sudah turun atau belum. Dia lemparkan motornya di tengah halaman lalu menghambur masuk. Dengan gugup Marmo mengunci pintu. Mulutnya yang bergetar hebat tak berhenti komat kamit. Peluh bercampur air mata menetes di seluruh mukanya.

 

“ Ada apa mas? “ Istinya yang baru keluar dari dapur bertanya kepadanya.

“ ………” Marmo diam seribu bahasa.

“……..Tini….walau ada apapun……jangan kau buka pintu ini…jangan sekali kali ! ….” Ucap Marmo kemudian dengan terbata bata

 

Marmo lari menuju kamarnya. Sang istri terbengong, lalu menyusulnya ke kamar. Tak diduganya, kamar itu terkunci dari dalam.

 

BRAKK!!..BRAK!!…BRAK!!!

 

“ Mas!!!….Mas!!! Buka pintu, Mas!! ” Tini berteriak sambil menggedor pintu.

“ Jangan-jangan……” Tini seperti ingat sesuatu “ Maaass….!!!  Maaasss…!! “

 

Dari dalam kamar terdengar lenguhan. Dan….

 

“ AAKKHH…!! ..Ampuun….!! Ya Allaaaahh……”

“ Maaaaaaaasss..!!! Tooloooooooong….Tolonnnnngggg!!!!!!!! “ Tini berteriak histeris sehingga mengundang beberapa orang kampung datang kerumahnya.

“ Tolong pak….Mas Marmo didalam….”

“ Ada apa?? “

“ Mas Marmo, pak….”

 

“ HOEEKKK…!!!!  HUKH….AAAARRGGHH!!! “ Lenguhan Marmo semakin keras terdengar

 

Tanpa basa basi lagi para penduduk kampung segera mendobrak pintu kamar Marmo

 

BRUAAK!!!!….

 

Penduduk kampung  menghambur ke dalam kamar Marmo. Suatu pemandangan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata orang normal. Darah berceceran di sekitar pembaringan. Marmo terlihat dalam posisi bersujud dengan tangan kiri memegangi perut sedangkan tangan kanan memegangi leher. Kepalanya menoleh kekiri. Matanya membeliak keatas. Darah segar menetes di sisi mulutnya. Sudah bisa dipastikan kalau nyawanya sudah tidak tinggal lagi di raganya.

 

Tini menggelosor kebawah setelah melihat keadaan suaminya yang seperti itu. Penduduk kampong tercengang. Sebagian menggeleng-gelengkan kepala.

 

“ Mbang, panggil pak lurah……Ya Allah….satu lagi…” ujar salah satu warga.

“ Mau sampai kapan……”

 

September 2, 2015

TAKUT

Filed under: Uncategorized — harlockwords @ 8:41 am

Harlockwords's Blog - ...Story came Out From My Mind.......

Dingin. Itu yang kurasakan sekarang. Tempat ini gelap, lembab, dan berdebu. Memang, tempat ini tidak bisa dianggap sempit, amat sangat luas malah. Dan kalian tahu, tempat ini begitu indah dipandang mata. Sekeliling banyak pepohonan rimbun dan hawa yang sejuk di pagi hari. Namun entah mengapa, bagiku aku seperti terkungkung di tempat ini. Sesak. Bagaimanapun juga sekarang aku tinggal disini. Sendiri. Dan aku tahu, aku tak bisa memprotes keadaan. Aku harus terima.
Aku kehilangan hitungan, sejak kapan aku mulai tinggal disini. Yang aku tahu, sejak rumahku yang dulu dirobohkan oleh sekelompok orang, aku dengan terpaksa berkelana kesana kemari untuk mencari tempat tinggal, hingga seorang saudara jauhku merekomendasikan tempat ini. Aku yang terpaksa, akhirnya tak bisa menolak.
Seperti biasa, malam ini begitu dingin. Purnama diluar begitu indah, seakan-akan merangsangku untuk lekat menatap kearahnya. Aku hanya bisa tersenyum menikmati kesendirianku.
Keheninganku terusik. Tiba-tiba hawa dingin yang biasa kurasakan mendadak memanas. Aku bingung, apa…

Lihat pos aslinya 457 kata lagi

TAKUT

Filed under: Cerpen,Horor — harlockwords @ 3:42 am
Tags: , , , , , , ,

Dingin. Itu yang kurasakan sekarang. Tempat ini gelap, lembab, dan berdebu. Memang, tempat ini tidak bisa dianggap sempit, amat sangat luas malah. Dan kalian tahu, tempat ini begitu indah dipandang mata. Sekeliling banyak pepohonan rimbun dan hawa yang sejuk di pagi hari. Namun entah mengapa, bagiku aku seperti terkungkung di tempat ini. Sesak. Bagaimanapun juga sekarang aku tinggal disini. Sendiri. Dan aku tahu, aku tak bisa memprotes keadaan. Aku harus terima.
Aku kehilangan hitungan, sejak kapan aku mulai tinggal disini. Yang aku tahu, sejak rumahku yang dulu dirobohkan oleh sekelompok orang, aku dengan terpaksa berkelana kesana kemari untuk mencari tempat tinggal, hingga seorang saudara jauhku merekomendasikan tempat ini. Aku yang terpaksa, akhirnya tak bisa menolak.
Seperti biasa, malam ini begitu dingin. Purnama diluar begitu indah, seakan-akan merangsangku untuk lekat menatap kearahnya. Aku hanya bisa tersenyum menikmati kesendirianku.
Keheninganku terusik. Tiba-tiba hawa dingin yang biasa kurasakan mendadak memanas. Aku bingung, apa yang terjadi malam ini. Purnama masih malu-malu menyembunyikan senyumnya di balik awan. Dadaku berdebar. Kusapukan pandangan mengelilingi sekujur sudut rumahku. Tak nampak apa-apa. Aku memandang ke luar dari balik jendela tak bertirai. Masih gelap disana, dengan sesekali remang cahaya purnama menyapu lantai halaman saat kabut sirna dari wajahnya.
Tunggu, ada sesuatu yang bergerak disana. Keningku mengernyit, berusaha menajamkan pandangan melihat sosok siluet yg bergerak-gerak di luar pagar halaman rumahku. Sosok itu bergerak tertatih, sempoyongan namun pasti seperi zombie yg sedang mencari mangsa. Aku hanya berharap sosok itu tidak bergerak menuju pagar rumahku yang tak terkunci.
Oh, tidak! Seperti yang ku takutkan, sosok itu tiba di pintu pagar dan lengannya yang kekar memegang teralis besinya. Perlahan mahluk itu mendorong kedalam pagar besinya. Suaranya yg mengkerit menyakitkan telingaku. Aku panik, takut, namun aku seakan dipaksa untuk memandang ke arahnya. Semakin jelas bentuk mahluk itu, dan aku gemetar. Sosok mahluk tinggi besar dan berjalan bungkuk dengan punuk besar menjulang di punggungnya. Nafasnya begitu berat hingga sampai ke telingaku. Perlahan tapi pasti dia bergerak mendekati pintu rumah, yang lagi-lagi, tak terkunci. Aku tak kuasa bergerak. Bergidik sekujur tubuhku melihat penampilannya. Terutama lagi, hawa panas semakin kurasakan menyiksa.
Dia mulai mebuka pintu rumah. Bunyi gesekan pintu kayu ke lantai berdecit. Tubuhku meringkuk ketakutan, namun mataku membeliak melihatnya. Ia berhenti sebentar menggerakkan bola matanya yang jalang menelusuri tiap jengkal ruang didepannya. aku berharap dia tak melihatku, dan sepertinya ia memang tidak. Lalu ia langkahkan kakinya mendekat ke arah dimana aku bersembunyi. Aku kembali panik. Semakin panas disekujur tubuhku. Kudengar dia menggumamkan bahasa-bahasa yang aku tahu aku benci mendengarnya. Dadaku berdegub kencang, aku tak kuasa menahannya. aku bingung kemana aku harus minta pertolongan. Aku sendiri disini.
Tak tahan lagi aku berteriak. Sekencang-kencangnya teriakanku menggema diseluruh ruangan. Badanku melenting hingga mencapai atap. Kulihat mahluk itu membeliakkan matanya. Semakin keras gumamannya terdengar di telingaku. Aku tak tahan. Aku takut. Aku gemetar. Aku seperti tak kuasa menguasai seluruh tubuhku. Panas kurasakan. Mata mahluk itu mengikuti kemana badanku pergi. Tak putus-putusnya aku berteriak dan berlompatan dari sisi ruang ke sisi satunya. Dia tak beranjak dari tempatnya berdiri. Dalam himpitan ketakutan, adrenalinku memuncak. Aku hanya ingin mahluk itu pergi. Ku kumpulkan segenap tenagaku untuk mendorongnya keluar dari rumahku. Sambil berteriak kencang, kuayunkan tubuhku menggapai badannya. Tak kusangka dia juga berteriak miris. Teriakannya mengalahkan teriakanku.

Aku takut tapi tetap kuberanikan diri merebut kembali kebebasanku. Kudorong dia sekeras tenaga. Namun, hanya ruang kosong yang kuraih. Badanku menembus badannya. Aku bingung. Yang kutahu, tak lagi kudengar teriakan itu, dan kulihat badannya terlentang di lantai rumahku. Dingin. Tak bergerak. Aku hanya diam memandangnya. Dan kuputuskan untuk kembali ke tempat amanku sambil terus memandang badan kaku seperti kayu di depanku. Hingga mataku mengantuk. Dan aku terlelap. Dan matahari pun perlahan muncul dari balik bukit.

Oktober 4, 2014

CUCIAN

Filed under: Cerpen,Horor — harlockwords @ 6:51 am
Tags: , , ,

“duh…capek sekali, mana cucian masih banyak” rungut Arri yang baru datang dari tempat kerjanya

hari ini Arri terpaksa harus lembur karena perintah dari pimpinan untuk mempersiapkan presentasi esok hari. Jam menunjukkan pukul 20.00. dengan enggan dia memasukkan motornya ke dalam garasi rumah kontrakan. Lampu remang garasi cukup membuat mata Arri yang lelah harus berkonsenterasi pada area garasi.

Bergegas Arri menuju kamarnya untuk melepas pakaian dinasnya berganti dengan celana pendek dan kaos kasual lalu segera mengerjakan pekerjaannya yang tertunda akibat pulang malam.

Namun ia sedikit ragu untuk beranjak menuju tempat cuci baju. Entah mengapa perasaannya hari ini sedikit gelisah. Pandangannya menebar ke sekeliling rumah. Ia tak melihat apa-apa. Ruangan dalam rumah seperti hari-hari biasanya. Tak Nampak perubahan letak barang-barang yang ada. Biasa saja.

Namun entah mengapa perasaan Arri tidak enak hari ini.

“ah…mungkin aku hanya capek saja…” ia mencoba berpikir logis

Segera ia mempersiapkan baju kotor yang menumpuk di bak besar warna biru. Lalu ia mengambil sebuah BAK MERAh yang ada di depannya dan mengisinya dengan air bersih. Kegiatan rutin cuci-mencuci pun dimulai seperti biasa tanpa ada hal yang ganjil

Hingga setelah berjalan beberapa menit, Arri seakan dipaksa untuk melirik ke area pintu menuju kamar mandi. Tak ada apa-apa disana. Namun ia heran, mengapa ia seakan-akan tersihir untuk selalu melihat ke area itu. Ia mencoba untuk berkonsenterasi pada pekerjaannya, dan kembali mengambil sisa cucian yang belum ia kerjakan. Lagi-lagi Arri terpaksa menengadahkan kepala untuk melihat area pintu itu.

“ada apa sih disana…….” Batinnya.

Tak sabar Arri berdiri untuk memeriksa tempat itu. Tetap saja, ia tak menemukan sesuatu yang berarti.

“ tak ada apa-apa” mulutnya menggumam pelan “ah…mengganggu saja” Arri meruntuk lalu kembali ke dingklik (kursi kecil:jw, red) untuk melanjutkan pekerjaannya

Ketika ia sedang melakukan kegiatannya, tak sadar air didalam bak merah yang berisi cucian-cucian itu bergerak-gerak pelan. Namun ketika gerakan itu bertambah keras, berputar-putar, barulah Arri sadar. Tertegun Arri memandang kejadian itu, antara tak percaya dan kaget.

“a..apa ini?” gumamnya. Antara sadar dan tidak, tangan Arri bergerak menuju bak dan berusaha meraih pakaian yang bergerak berputar-putar mengikuti pusaran air. Ia menagkap pakaian itu. Namun tak disangkanya ia merasakan gerakan-gerakan aneh dari dalam air. Dengan reflek dibenamkan tangannya meraih sesuatu yang bergerak di dalam bak itu. Ia menangkup sebentuk benda lunak dan segera mengangkatnya. Terbelalak matanya ketika melihat benda yang dipegang erat oleh tangannya itu.

“Ya Ampun!” ia berteriak histeris. Sebentuk kepala manusia yang meringis meliha dirinya. Kepalanya gundul mulus, namun mukanya bopeng-bopeng tak rata dengan seringa lebar hamper memenuhi seluruh pipinya.

Tak ayal Arri melemparkan kepala itu dan beranjak berdiri dan bergerak mundur melawan arah ia melemparkan si kepala yang meringis. Tak sengaja ia mundur kea rah pintu menuju kamar mandi. Sedikit terpeleset dia karena lantai licin berair. Sekejap mata ia melihat kembali arah kepala yang ia lemparkan tadi. Namun ia hanya melihat tumpukan baju di lantai. Tak Nampak kepala yang mengerikan itu disana. Ia mencoba menebarkan pandangan ke sekeliling. Tak jua ia menemukan benda laknat yang ia nikmati tadi.

Sebentar Arri mengatur nafas lega, mungkin ia berhalusinasi karena capek tadi. Ia mencoba untuk menenteramkan diri sambil memegang dadanya yang berdegup kencang seakan berlomba dengan deru nafasnya yang memburu.

Namun, ketenangan jiwanya tak berlanjut lama. Tiba-tiba Arri merasakan betis kirinya yang terbuka, seperti ada yang memegang. Ia ingin sekali melihat kebawah untuk mencerna apa yang ia rasakan, namun lehernya seperti kaku tak bisa ia gerakkan.Arria mencoba melirik kebawah. Namun matanya kembali membelalak kedepan ketika ia merasa pundakkanannya nya juga seperti ada yang menyentuh. Reflek ia mencoba melirik kea rah pundak kanannya. Ia melihat sebentuk jari jemari keriput dengan kuku-kuku panjang dan runcing menyembul dari arah belakang punggungnya. Jari-jari itu seakan meremas pundaknya sehingga ia seperti merasakan beban yang sangat berat. Lalu ia merasakan betisnya menjadi sangat perih. Berangsur ia melirikan matanya , ya, hanya melirikkan matanya karena lehernya menjadi semakin kaku karena peristiwa itu, ke arah betisnya. Ia melihat sesosok tangan mungil, seukuran jari anak-anak, namun tangan itu penuh bulu yang lebat.

Arri mencoba berteriak namun lidahnya seperti terikat dan tertempel di dinding atas rongga mulutnya. Dahsyatnya serangan psikis yang ia alami semakin membuat ia mempunyai tekad kuat untuk meloloskan diri dari kejadian ini. Dengan membaca segala yang ia bisa baca, Arri menarik seluruh anggota badannya untuk menjauh dari cengkeraman jari-jari itu. Berhasil. Arri terlepas dan jatuh tertelungkup. Dengan cepat Arri membalikkan badannya seperti akan menantang sesuatu yang menyiksa badan dan batinnya tadi.

Tepat di bawah kusen pintu, Arri melihat dua sosok asing yang belum pernah ia jumpai selama ia menginjakkan kaki di rumah kontrakannya. Yang pertama, sesosok anak kecil dengan bulu yang lebat menyeringai menatapnya. Sosok satunya berupa seorang wanita separuh baya dengan pakaian seperti jaman kerajaan-kerajaan berbentuk kemban. Wajahnya cantik, namun sorot matanya sangat mengerikan, tajam menyayat keberanian Arry. Yang lebih membuat bulu kuduk meremang, tangannya menjuntai hingga tanah dengan jari-jari yang panjang dan mengarah ke wajah Arri seakan mau meremukkan wajah itu dengan sekali genggam. Kakinya tidak berbentuk kaki manusia, (ga gwe tulis soalnya Poppy ga ngomongin si kemaren kakinya bentuk apa…hahaha).

Kepala Arri berputar mengalami tekanan seperti ini. Matanya berkunang-kunang. Nafasnya memburu dan tak lama ia pun terjerembab di lantai keramik yang basah. Pingsan

terinspirasi dari teman-teman grup Facebook Hits 80-90

especially Arri Ramdhani

LAPAK MERAH on BnZ

https://www.facebook.com/groups/brurzus/permalink/301260320081278/

Laman Berikutnya »

Blog di WordPress.com.