Harlockwords’s Blog – …Story came Out From My Mind…….

Januari 8, 2009

Petaka Lereng Lawu – BAB XVI

Filed under: Horor,Novel,Petaka Lereng Lawu — harlockwords @ 1:31 am
Tags: , , , , , , , ,

 

 BAB XVI

 

 

Sesampai di depan rumah pakdenya, Riham langsung masuk ke halaman rumah melewati pintu pagar pekarangan Pakde Darno. Di teras rumah sudah tidak ada siapa siapa lagi. Bahkan cangkir kopi maupun lepek tempat kue itu pun sudah tidak ada lagi. Nampaknya pakde sudah membawa semua suguhan kedalam. Riham sempat berharap, semoga saja pakde tidak sekaligus mencucinya. Setelah Riham melewati kusen pintu utama, ia melihat pakde sedang berjalan keluar dari kamarnya.

 

“ Baru datang Ham? “ tanya pakdenya setelah pakde melihat RIham yang baru masuk ke ruang tengah.

“ Iya pakde, baru saja “

“ Terus kapan kamu mau ke tempat lurah? “ tanya pakde kembali.

“ Hmm…” Riham melongokkan kepalanya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.26 menit.

“ Sepertinya ndak sekarang pakde. Saya mau tidur dulu. Tadi malam tidur saya kurang bisa nyenyak, pakde. Sekarang kepala saya agak pusing “ kata Riham melanjutkan.

“ Sebentar lagi sudah Dzuhur, le. Tunggu adzan dulu. Sehabis sholat, kamu tidurlah “

“ Baik pakde “ jawab Riham singkat.

“ Jangan lupa kamu minum obat. Kamu bisa cari obatnya di kotak obat di dapur “ sahut pakdenya lagi

“ ya pakde, saya ke dapur dulu “


Riham menuju dapur dan berpura-pura mencari obat di kotak obat. Sebetulnya ia agak malas untuk bepergian hari ini, jadi ia beralasan sakit kepala kepada pakdenya . Ia membayangkan kesibukan acara tahlil nanti malam, sedangkan semalam ia kurang tidur dengan gangguan gangguan mimpinya. Ia ingin merebahkan sejenak penat badannya sebelum ia merasa demam dikarenakan kecapaian.

 

Ketika ia menuju ke belakang untuk mengambil air wudlu, ia melihat cangkir kopi yang masih kotor beserta lepek nya di tempat pencucian piring. Ia tersenyum dan sedikit bersukur melihatnya. Lalu ia mengambil dan mencucinya tanpa menunggu nanti. Setelah selesai, ia mengambil air wudlu dan segera masuk ke kamar tidurnya. Ia duduk di pinggiran dipan sambil menunggu musholla desa mengumandangkan adzan Dhuhur nya. Hanya selang beberapa menit kemudian terdengarlah panggilan suci itu. Riham pun mengambil posisinya.

 

Setelah selesai menunaikan kewajiban sebagai umat, Riham pun menuju meja belajar untuk mengambil seteguk air yang ia bawa dari dapur tadi. Sungguh segar tenggorokannya setelah berjalan jauh menuju makam tadi. Lalu ia menuju pembaringan. Dibersihkannya dulu pembaringan itu dari debu yang menempel. Lalu ia merebahkan badannya di pembaringan. Ia mencoba untuk memejamkan matanya yang telah kecapaian. Namun, sedikit dalam benaknya Riham merasa amat ketakutan untuk memasuki wilayah dewi mimpi. Kemungkinan untuk mendapatkan teror mimpi buruk setelah dua kali tidur bisa terjadi lagi.

 

Mengingat hal itu, seluruh bulu di badan Riham meremang. Ia membuka kembali kedua matanya. Keringat dingin pun tak terasa membasahi badan Riham yang sedikit menggigil itu. Hatinya gelisah. Akankan nanti ia akan kembali bermimpi. Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab di batin Riham membuat kepenatan yang melanda tubuhnya kembali memenangkan pertempuran. Tak lama berselang, kedua mata Riham tertutup rapat. Terdengar hembusan halus yang konstan dari kedua lobang hidungnya menandakan bahwa mau tidak mau Riham telah dijemput oleh dewi mimpi di peraduannya. Entah mau dibawa kemana jiwa Riham saat itu. Nampaknya Riham juga tak memperdulikan, sama sekali.

 

 

 

 

Jam sudah menunjukkan pukul 14.47 menit ketika suara adzan Ashar membangunkan Riham dari tidur nyenyaknya. Hampir saja ia tersentak kaget ketika suara itu menggema di telinganya. Perlahan Riham mendapatkan kembali kesadaran penuhnya.  Sejenak ia duduk dan merenggangkan tubuhnya. Sungguh nikmat rasanya melakukan hal itu, seakan akan Riham telah lama tidak merasakan tidur dengan sangat nyenyak seperti saat ini. Ia tersenyum kecil. Ternyata semua yang ditakutinya tidak terjadi saat ini. Hampir tiga jam ia tidur, waktu yang cukup lama untuk beristirahat siang.

 

Riham bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu kamar tidurnya. Setelah sejenak membasuh muka dan bersuci, Riham kembali ke kamar untuk kembali menunaikan kewajibannya. Segera setelah selesai dengan hajatnya, Riham keluar kamar dan menuju teras rumah dimana Pakde Darno sedang duduk di bale-bale menikmati udara sejuk sore lereng Gunung Lawu. Sore itu memang tidak begitu panas walau mentari masih dengan garang bersinar di langit. Angin yang menghembus perlahan membawa udara dingin yang berasal dari puncak gunung turun ke lerengnya di desa ini. Angin sepoi-sepoi ini benar-benar menambah kesempurnaan suasana sore. Riham berjalan perlahan sembari memberi salam kepada pakdenya.

 

“ Sore pakde, “ seru Riham dengan sopan.

“ Hmm..sore le. Gimana istirahatmu? Nyenyak? “

“ Alhamdulillah pakde, sudah agak ringan kepala saya. Tadi mungkin karena kecapaian, “ jawab Riham merespons pertanyaan pakde.

“ Syukurlah. Ada rencana kemana sore ini? “

“ Ndak ada. Saya mau bantu-bantu mempersiapkan tahlil nanti malam saja pakde, “

“ hmm..baik kalau begitu. Di belakang, sudah banyak yang mulai mengerjakan masakan, “

“ Iya pakde. Tadi saya sempet memberi salam pada mereka sebelum mengambil air wudlu, “

“ O ya? Kalau begitu kamu kedalam, mungkin ada sesuatu yang mereka butuhkan dan kamu bisa sedikit membantu mereka. O ya, jangan lupa ngopi dulu. Kalau mau ngopi, bawa kesini saja, “ ujar pakdenya.

“ Baiki pakde. Lebih baik saya ngopi sebentar. Saya ambil kopinya di belakang dulu, “

 

Riham mempersiapkan kopinya dan segera membawa kembali ke teras rumah. Riham membakar sebatang rokok untuk menemani acara minum kopi dan menghisapnya dalam-dalam. Kini Riham dan pakdenya terlibat pembicaraan ringan himgga salah satu pemuda desa datang untuk membatu mempersiapkan kebutuhan tahlil nanti malam. Dengan diikuti Riham, pemuda tadi menata karpet dan tikar lalu menggelarnya di halaman rumah. Tak lama berselang, beberapa pemuda datang berbondong-bondong turut membantu persiapan itu. Mereka bubar sesaat sebelum adzan Maghrib dikala semua persiapan telah selesai.

 

Acara berjalan lancar seperti malam kemarin. Tidak ada sesuatu hal yang menarik. Hampir seluruh penduduk desa datang mengikuti acara doa bersama. Acara tetap diakhiri dengan jagongan para penduduk hingga jam sepuluh malam. Kemudian Riham bersiap untuk tidur di kamarnya setelah menunaikan ibadah Isya’. Suasana menjadi sepi. Beberapa menit Riham merebahkan badannya di dipannya, namun ia tak kunjung bisa memejamkan mata. Berkali-kali ia kembali membelalakkan matanya setelah beberapa detik memejam. Entah karena suasana sepi mencekam yang menghantuinya atau memang ia masih belum mengantuk. Yang pasti ia merasa kegerahan saat ini.

 

Setelah beberapa lama, ia memutuskan untuk keluar kamar. Ia ingin mencari hawa untuk mengusir gerahnya saat ini. Riham keluar melewati pintu utama rumah setelah membuka selotnya. Ia memandang halaman yang sedikit agak kotor bekas acara tadi sore. Semua tikar telah digulung dan diletakkan di pinggir teras. Riham tahu, besok pagi ada tetangga yang akan membersihkannya. Tentu orang tersebut telah diupah oleh Pakde Darno. Suasana halaman telah sunyi senyap. Ia melirik sebentar ke arah jam dinding yang menempel di ruang utama. Pukul 11.36. Cukup malam rupanya. Ia bergerak perlahan menuju bale-bale dan duduk sebentar. Sebenarnya hawa saat itu cukup menyayat tulang. Tapi entah, mengapa ia merasa sangat kegerahan di dalam kamar tadi. Apa mungkin ia trauma akan kejadian kemarin malam? Riham tak mengerti sama sekali. Ia sudah berusaha melupakan hal itu. namun semuanya seakan menjadi firasat yang berkesinambungan. Sejak kejadian di bis antar kota kemarin siang hingga penglihatan di makam, semua seperti ada hubungan satu sama lain. Semua semakin  menyita perhatiannya.

 

Dalam lamunannya di tepi bale-bale di teras itu, Riham dikejutkan oleh belaian halus angin yang membawa hawa dingin di tengkuknya. Pada awalnya ia menganggap angin malam sedang berhembus lirih dari arah gunung. Namun angin sepoi tersebut membawa suasana aneh bagi bathin Riham. Seluruh bulu di badannya meremang hebat. Ia jadi teringat pengalamannya kemarin, yang pastinya hanya mimpi. Padahal kini ia belum merebahkan badan. Kesadarannya masih penuh, pun matanya belum lagi berat. Perasaan apa yang menjalari badannya kini? Hatinya mulai gelisah. Sebentar-sebentar bola matanya bergerak-gerak hingga ke sudut mata yang paling jauh untuk memeriksa keadaan sekeliling.

 

Pandangannya terhenti pada sebuah pohon mangga yang berada di sebelah ujung kiri halaman rumah. Lamat-lamat di kegelapan suasana, ia menangkap sosok bayangan yang bergerak-gerak tepat di bawah pohon itu. Riham sedikit kaget. Matanya mengernyit mencoba menajamkan penglihatan. Rasa penasaran akan sosok sebenarnya dari bayangan itu membuat ia tak hendak berpaling dari pohon di ujung halaman. Riham memajukan kakinya selangkah untuk memperjelas penglihatannya. Cahaya bulan yang tak terhalang mendung memberi penyinaran yang hampir sempurna menembus batang-batang pohon mangga yang tak terlalu rimbun. Semerbak bau harum samar menghampiri hidung Riham. Bentuk siluet yang menempel di tepi dahan pohon semakin memperlihatkan bentuk aslinya. Riham melangkah beberapa tapak ke depan. Hingga saat pandangannya menangkap bentuk itu, langkahnya mendadak terhenti.

 

Riham melihat dengan jelas sesosok wanita dengan wajah yang putih pucat, seakan ia mengenakan bedak satu kompak penuh, walaupun sebagian wajah itu tertutup rambut panjang selutut dan awut-awutan. Kedua lengannya terjatuh sempurna di samping badannya, seperti dia sangat enggan untuk menahan bobot dari kedua lengan itu. Pandangan matanya tajam namun menghiba menembus ulu hati Riham yang terpaku tanpa kata di depannya. Baju putih panjang yang sedikit lusuh menyelimuti badan sosok itu.

 

Apalagi ini…? Riham membatin tanpa bisa mengeluarkan patahan-patahan kalimat lewat mulutnya. Bibirnya terbuka lebar dan sulit untuk dikatupkan. Kembali perasaan mencekam menindas logika Riham. Ia yakin sekali, ia belum tidur saat ini. Berarti semua yang dilihatnya saat ini nyata adanya. Nyata sekali, senyata bulan yang menggantung di langit ,yang sinar keperakannya menambah hawa mistis di sekeliling halaman ini. Keringat dingin mengucur deras, pundaknya terasa amat kaku hingga lengan dan tangan Riham tampak bergetar hebat. Ingin sekali ia melangkahkan kakinya sejauh ribuan langkah menjauh dari halaman itu, namun lututnya benar-benar tak mau diajak untuk bekerjasama dengan otaknya. Telapak kakinya seakan tenggelam di tanah halaman dan mukanya tak bisa ia palingkan kearah manapun.

 

Sosok muram berbaju lusuh itu sedikit bergerak melayang ke arah Riham, namun ia tak terlalu mendekat pada Riham. Mahluk itu berhenti beberapa meter dari Riham berdiri dan menatap dengan pandangan menghiba. Bagaimanapun memelas tatapan mata sosok itu, tak urung Riham bergidik memandang wajah pucat didepannya. Riham yakin yang ditatapnya saat ini pasti bukanlah manusia normal seperti dirinya, walaupun dari bentuk fisik secara lengkap yang dilihat Riham adalah manusia. Namun hawa mistis yang menyelimuti dirinya saat ini memberi informasi lain pada otaknya. Ia tahu yang dilihatnya sekarang adalah mahluk dari dunia gelap, yang sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa dan raganya. Dada Riham bertambah kencang berdegub, bulu kuduk nya meremang dan badannya semakin menggigil keras.

 

Tiba-tiba mahluk miris  itu menggerakkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, namun suaranya seperti ditelan ruang hampa di sekitar yang kini menekan dada Riham. Tak terdengar suara apapun, namun bibir pucat berwarna abu-abu itu terus bergerak-gerak. Mata mahluk itu tetap menghiba menusuk ke dalam relung hati Riham. Riham berusaha untuk menterjemahkan gerakan bibir mahluk itu ke dalam kata-kata yang ia mengerti. Tetapi dengan tekanan yang dahsyat seperti ini, jelas Riham kehilangan fokus. Ia hanya mengira-ngira apa maksud dari mahluk itu menampakkan wujud pada dirinya. Yang pasti, ia hanya merasa dirinya terancam tanpa bisa berbuat apapun.

 

Tak berapa lama saling berdiam diri, sosok itu mengangkat lengan kanannya. Jari telunjuknya mengacung ke arah barat desa, tepat dimana puncak Lawu bertengger dengan gagah. Mulutnya masih berkomat-kamit, dan matanya, ya, matanya menampakkan pandangan yang lebih memelas dari sebelumnya. Ia seperti meminta sesuatu kepada Riham. Sesuatu yang Riham rasa sangat berat untuk memenuhinya. Riham terbengong melihat sosok itu menunjuk-nunjuk ke arah perkebunan di lereng Lawu itu. Ia masih belum sadar dan belum mengerti akan maksud dari kejadian yang menimpanya. Ia masih saja menatap sosok itu tanpa berbuat apa-apa. Seperti disengat listrik, baru Riham menyadari maksud dari mahluk itu. Ia mencoba menggerakkan kepala menuju arah yang ditunjuk oleh mahluk itu. Dikegelapan malam ia melihat sosok megah Gunung Lawu yang hanya tampak sebagai bayangan kelabu di temaram cahaya bulan. Ia kembali menatap mahluk itu. Sosok mengerikan yang masih berada ditempatnya itu tetap saja memandangnya dan menunjuk ke arah hutan pinus di kejauhan. Bercampurnya rasa takut dan penasaran akan maksud dari peristiwa ini, Riham memberanikan diri untuk berkata-kata, walau suaranya seakan tersendat di kerongkongan.

 

” S..s.siapa kamu? ” tanya Riham. Mahluk itu diam tak merespon pertanyaan Riham dan tetap saja pada posisi semula. Tak bergerak sedikitpun dan lengannya masih teracung ke arah lereng gunung.

” Iya, saya tahu. Ada apa disana? Apa mau kamu? ” Riham melanjutkan pertanyaannya.

 

Kembali mahluk itu berkomat-kamit, seakan ingin sekali menjawab pertanyaan Riham. Namun, suaranya tetap tak terdengar. Riham yang telah kembali menguasai kemampuannya, maju selangkah ke arah mahluk itu untuk mendengarkan suaranya. Tapi, jarak antara dirinya dan mahluk itu tidak pula bertambah dekat. Kembali Riham melangkahkan kakinya beberapa langkah. Baru dia sadar bahwa secara perlahan mahluk itu bergerak mundur mengikuti langkah kakinya, sehingga jarak dengannya pun tidak bertambah dekat.

 

” Jangan menghindariku. Katakan, apa mau kamu? Apa maksudnya semua ini? Kembalilah kemari. Mbak…mbak! ”

 

Riham mempercepat langkahnya untuk mengejar mahluk itu. Gerakan mundur yang seperti melayang itu juga semakin cepat menuju arah pohon mangga dimana ia muncul pada awalnya. Lalu, dengan gerakan cepat yang tak bisa diikuti mata Riham, mahluk itu bergerak menyamping sehingga tertutup oleh batang pohon mangga yang lumayan besar itu. Riham berlari mengejarnya dan mencari dibalik pohon. Tapi, disana ia tak menemukan siapa-siapa. Mata Riham mencari di kegelapan halaman dan di jarak pandang terjauh pun, di balik pagar bambu pendek yang mengarah ke jalan setapak Desa Njamus. Ia tidak menemukan siapa-siapa. Saat dia berkonsentrasi menajamkan matanya, sesuatu menepuk pundak Riham dari belakang.

 

” Haah!! ” Riham menengok kebelakang sambil mencoba menangkis sesuatu yang menjamah pundaknya.

” Dik! ” Seseorang berteriak sembari menghindari pertemuan lengannya dengan lengan Riham.

” Loh! Mas Ton? Aduh mas. Hampir copot jantungku, ” seru Riham kepada seseorang yang ternyata adalah Tono. Riham mengelus-elus dada yang berdegub kencang untuk menenangkannya.

” Maaf, dik. Bukan maksudku mengagetkan Dik Riham. Ada apa malam-malam diluar dik? ”

” Ndak apa-apa mas. Mas Ton lihat ada perempuan disini tadi? ” tanya Riham

” Hmm…aku lihat Dik Riham sendiri saja disini dari tadi berlari-lari seperti mengejar sesuatu. Ndak ada perempuan sama sekali. Ono opo tho dik? ” jawab Tono.

” Ndak mas. Ndak apa-apa, ” jawab Riham merespon pertanyaan Tono. Sejenak Riham berdiam diri.

“ Ndak papa kok pucat gitu dik. Habis lihat setan ya? “ Tanya Tono kembali sembari tersenyum kepada Riham. Riham tahu, Tono hanya bergurau kepadanya. Namun, pertanyaan Tono seperti jawaban tebakan yang mendapatkan hadiah utama. Ingin rasanya Riham mengiyakan pertanyaan Tono itu, namun ia yakin, Tono tak akan percaya bila ia menceritakannya.

“ Ndak ada apa-apa kok mas, bener. Mas dari mana malam-malam begini? ” Riham membelokkan topik pembicaraan dengan cepat.

” Eh iya, tadi aku dari rumah carik, ada rapat. Terus aku lihat Dik Riham berlarian dan menengok-nengok sendiri disini. Aku pikir ada maling, dik. makanya aku langsung kesini, ” jawab Tono panjang lebar.

” O, begitu mas. Mau mampir dulu aku buatkan kopi mas? ” Riham mengundang Tono untuk singgah di bale-bale di teras rumah.

” Kalau ndak ada apa-apa, aku langsung pulang saja dik. Sudah mengantuk nih, lain kali saja kita ketemu, ” Tono menolak tawaran Riham dengan halus.

” Baik kalau begitu. Aku juga mau masuk dulu ke dalam, mas,

Monggo dik, ”

Monggo, ”

 

Keduanya lalu berpisah di halaman sepi dan gelap rumah Pakde Darno. Tono pulang menuju rumahnya yang tak jauh dari rumah itu. Sedangkan Riham beranjak masuk ke dalam rumah, menuju peraduannya. Entah, apakah nanti ia bisa terlelap atau ia akan terbayang-bayang kejadian barusan, ia tak ambil pusing. Yang penting ia ingin pergi jauh dari halaman dan pohon mangga itu.

 

 

4 Komentar »

  1. pak, mana kelanjutannya? kok lama bgt.

    thx

    Komentar oleh eve — Januari 23, 2009 @ 6:21 am | Balas

    • sori eve
      aku masih belon sempet
      si boss ngajakin begadang mulu
      hehehe
      payah

      Komentar oleh harlockwords — Januari 23, 2009 @ 7:01 am | Balas

  2. wah mas seru itu masa cuma ampe segitu
    w kan pengen tau kelanjutannnya
    dari sesosok mahluk gaib yg ingen memberi tau sesuatu
    jadi penasaran w ke arah barat sawah ? mksudnya dari itu apa

    tolong lanjutkan mas…..
    apa emang cuma segitu ya ceritanya cuma penampakan begitu saja ya

    Komentar oleh devil novel — Februari 18, 2011 @ 3:33 am | Balas

    • maafkan hamba sodara..
      waktu hamba sudah habis terjual
      untuk hal hal yang penting dan tak penting lainnya
      ini membuat hati seperti tersayat beribu sembilu….
      entah kapan hamba akan melanjutkannya…walau hati ini sangat ingin…

      Komentar oleh harlockwords — Februari 18, 2011 @ 4:04 am | Balas


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan Balasan ke harlockwords Batalkan balasan

Blog di WordPress.com.